Monday, June 4, 2012

"Peranan Sosial" dalam Masyarakat



Dalam kehidupan sosial, seorang individu dihadapkan dengan beragam norma dan struktur sosial. Sebagai makhluk sosial, seorang individu tidak dapat hidup seorang diri karena akan selalu dihadapkan oleh seperangkat permasalahan yang terkadang bahkan seringkali tidak mampu diatasi oleh seorang diri. Ketidaksempurnaan yang melekat pada diri individu merupakan alasan kenapa individu membutuhkan individu lainnya. Artinya, kerap kali seorang individu menaruhkan harapannya kepada individu lainnya, harapan yang dari seorang individu terhadap individu lainnya adalah apa yang disebut sebagai peranan dalam dunia sosial. Setiap individu menempati peranan sosial yang berbeda dengan individu lainnya. Sehingga konsekuensinya adalah seorang individu yang menempati peranan yang lebih tinggi, akan menerima dan menjawab harapan-harapan yang datang dari individu yang berada pada peranan dibawahnya.
Selebihnya, kita dapat melihat definisi peranan yang diberikan oleh Gross, Mason, dan McEchern. Ketiganya mendefinisikan peranan sebagai seperangkat harapan-harapan yang dikenakan pada individu yang menempati peranan sosial tertentu. Harapan-harapan tersebut merupakan imbangan dari norma-norma sosial dan oleh karena itu dapat dikatakan bahwa peranan-peranan itu ditentukan oleh norma-norma didalam masyarakat. Pemikiran tentang peranan sebagai seperangkat harapan yang ditentukan oleh masyarakat sebagai pemegang kedudukan sosial adalah sejalan dengan perspektif mengenai “masyarakat” yang berpendapat bahwa tiap individu memegang peranan yang diberikan oleh masyarakat kepada mereka[1].
Didalam peranan terdapat dua macam harapan, yakni 1). Harapan-harapan dari masyarakat terhadap pemegang peran atau kewajiban-kewajiban dari pemegang peran, dan 2). Harapan-harapan yang dimiliki oleh si pemegang peran terhadap “masyarakat” atau terhadap orang-orang yang berhubungan dengannya dan menjalankan peranannya atau kewajiban-kewajibannya[2].

Bahan Bacaan
Barry, David. 2003. Pokok-pokok Pikiran Dalam Sosiologi. Jakarta : Raja Grafindo Persada


[1] David Barry, hlm : 105-106
[2] Ibid. hlm : 107

Mengurai Relasi Agama-Negara


"Persilisihan yang dipicu oleh masalah agama, 
kian hari kian mengancam kehidupan berbangsa kita"

Berangkat dari pemahaman bahwa setiap manusia memiliki kepercayaan dan atau keyakinan atas sebuah kekuatan yang sifatnya sakral (sacred) yang mana kepercayaan itu menjadi salah satu landasan yang paling fundamental dalam membangun atau mempengaruhi manusia dalam menentukan sikap sosialnya. Keyakinan itu tertuju pada sesuatu yang sifatnya suci/sakral yang kita kenal sebagai Tuhan dan terinstitusi dalam wujud agama.  

Sejarah kemanusiaan berada pada tapal batas kehancuran ketika kobaran rasa kebencian tengah menyelimuti perasaan masing-masing pemeluk agama. bukan hanya rasa kebencian yang mengancam, namun ada permasalahan mendasar yang terus-menerus tertanam dibawah relasi antara agama-negara, permasalahan itu terkait dengan “posisi dan peran” dari kedua entitas tersebut.  Agama cenderung berada dibawah pengaruh dominasi negara, dimana Agama dipaksa sebagai pelayan kekuasaan. Adalah sesuatu yang paradoksal tentunya ketika terjadi ketidakadilan, agama justru tidak memberikan reaksi nyata. Bahkan lebih parah lagi, ketika kekuasaan ingin mempertahankan hasrat kekuasaannya, agama kemudian dengan serta merta akan mencarikan dasar teologis (dalil) pembenar atas tindakan tersebut.

Relasi agama dan negara adalah satu entitas kajian yang perlu mendapatkan perhatian serius. Karena bagaimana relasi agama dan negara berjalan sangat mempengaruhi perkembangan dan realiatas kehidupan beragama dan bernegara itu sendiri.

Bila relasi (hubungan) antara agama dan negara semakin ideal berada pada posisi yang diharapkan, maka akan melahirkan realitas dalam menjalani kehidupan beragama dan bernegara yang ideal pula. Baik dalam konteks realitas multikulturalisme di Indonesia maupun dalam konteks untuk mewujudkan suatu tatanan kehidupan yang lebih baik.
Kesemuanya itu bermuara dalam rangka menjawab problematika yang terjadi, termasuk persoalan atas hadirnya fundamentalisme atau radikalisme yang akhir-akhir ini semakin mendangkalkan realitas multikulturalisme. Di sinilah letak peran dan posisi relasi agama dan negara. Dan perjalanan peradaban bangsa-bangsa di dunia tidak bisa dilepaskan dari posisi bagaimana relasi agama dan negara ditentukan dan dijalankan.

Ditengah kompleksitas kehidupan bernegara, agama seharusnya mampu hadir sebagai media yang mampu memberikan penerangan atas perjalanan roda pemerintahan, atau dengan kata lain mampu menjadi pengontrol atas jalannya kekuasaan.    

Tuesday, May 22, 2012

Makalah Teori Sosial; Etnometodologi


Pendahuluan
Dalam kehidupan yang sifatnya dinamis ini, manusia sebagai makhluk sosial tidak akan pernah bisa lepas dari individu-individu yang lain. Sehingga mereka akan selalu bersentuhan dengan indvidu lainnya, dengan kelompok individu, bahkan antara kelompok individu dengan kelompok individu yang lain, atau dalam dunia sosial lebih dikenal dengan istilah Interaksi Sosial. Interaksi sosial yang terbangun melahirkan gejala-gejala sosial (fakta sosial) dalam kehidupan masyarakat. Ilmu sosial hadir dengan tujuan untuk membangun pemahaman atas setiap fakta sosial yang terjadi ditengah masyarakat. Pemahaman tersebut dapat ditempuh melalui pengamatan sosial. Pengamatan sosial tidak hanya dilakukan dengan satu cara dan dari satu sudut pandang sosial saja, sehinggan hal ini kemudian melahirkan banyak metodologi yang dapat dipergunakan dalam melakukan pengamatan sosial. Diantara metodologi yang ada salah satunya adalah Etnometodologi.
Pengamatan atas fakta sosial yang dilakukan oleh ahli ilmu sosial dewasa ini masih terklasifikasi dalam dua wilayah objek kajian, yakni pengamatan yang dititikberatkan pada persoalan-persoalan makro, dan pengamatan yang tertuju pada persoalan-persoalan mikro. Emile Durkheim misalnya, adalah salah satu tokoh sosiologi yang menempatkan pengamatannya pada persoalan makrososiologi (struktur sosial dan pranata sosial). Durkheim berangkat dari pemahaman bahwa fakta sosial berada diluar dan bersifat memaksa individu untuk mengikuti struktur dan peranata sosial yang ada. Kemudian adalah Max Weber salah satu tokoh termasyhur dalam dunia sosiologi yang meletakkan pengamatan pada wilayah mikrososiologi seperti Tindakan Sosial. Weber berangkat dari pemahaman bahwa individulah yang membangun struktur sosial, sehingga mengamati persoalan sosial tidak bisa langsung tertuju pada struktur sosial (makrososiologi) yang ada namun harus diawali dengan mengamati tindakan sosial individu (mikrososiologi).
Berbeda dengan kedua tokoh ahli sosiologi diatas, Harold Garfinkel sebagai pencetus teori Etnometodologi melihat fakta sosial sebagai sesuatu yang fundamental dalam kehidupan sosial. Sehingga dalam penggunaannya Etnometodologi tidak terpaku pada hal-hal yang sifatnya makro maupun mikro, namun memusatkan pengamatannya pada interaksi sosial yang dilakukan manusia dalam kesehariannya, salah satunya melalui pengamatan Etnometodologi atas percakapan sehari-sehari yang dilakukan manusia.     
Etnometodologi meletakkan studi mengenai kegiatan manusia sehari-hari atas dasar common sense. Realitas common sense dan eksisitensi sehari-hari manusia merupakan kepentingan praktis dalam kehidupan sosial. kepentingan praktis kemudian dilawankan dengan kepentingan ilmiah (teoritis). Teori ilmiah membangun pemahaman atas realitas sosial melalui penelitian yang sisitematis dan teoritis. Bagi Alferd Schutzs (tokoh sosial yang mempengaruhi Garfinkel dalam melahirkan teori Etnomrtodologi) manusia bergerak bukan berdasarkan teori ilmiah melainkan atas dasar common sense atau kepentingan praktis. Pada wilayah inilah (kepentingan praktis) etnometodologi hadir sebagai alat pengamatan pergerakan keseharian manusia untuk membangun pemahaman utuh atas fakta sosial yang tengah tertebar di masyarakat.
Pembahasan
A.      Pengertian Etnometodologi
Istilah Etnometodologi (ethnomethodolgy) berasal dari bahasa Yunani yang berarti metode, yang digunakan orang dalam menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Etnometodologi pada dasarnya merupakan kumpulan pengetahuan berdasarkan akal sehat dan rangkaian prosedur dan pertimbangan (metode) yang dengannya maasyarakat biasa dapat memahami, mencari tahu, dan bertindak berdasarkan situasi dimana mereka menemukan dirinya sendiri[1].
            Pemahaman lebih mendalam tentang sifat dasar etnometodologi akan bisa didapatkan dengan meneliti upaya pendirinya Harold Garfinkel untuk mendefinisikannya. Sebagaimana Durkheim, Garfinkel menganggap fakta sosial sebagai fenomena sosiologi fundamental. Namun fakta sosial menurut Garfinkel sangat berbeda dari fakta sosial menurut Durkehim. Menurut Durkheim, fakta sosial berada diluar dan memaksa individu. Pandangan ini cenderung melihat aktor dipaksa atau ditentukan oleh struktur dan pranata sosial dan sedikit sekali kemampuannya atau tidak mempunyai kebebasan untuk memuat pertimbangan. Sebaliknya etnometodologi membicarakan obyektivitas fakta sosial sebagai prestasi anggota, sebagai produk aktivitas metodologis anggota. Dengan kata lain etnometodologi memusatkan perhatian pada organisasi organisasi kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, Etnometodologi bukanlah makrosoiologi dalam arti yang dimaksud Durkheim, tetapi bukan juga sebagai mikrososiologi. Sehingga etnometodologi memusatkan perhatian pada aktivitas sehari-hari individu[2]. Etnometodologi memiliki tiga dasar asumsi[3], yakni:
1.      Kehidupan sosial pada dasarnya tidak pasti; namun,
2.      Para pelaku tidak menyadari hal ini, karena
3.      Tanpa mereka ketahui, mereka memiliki kemampuan yang dibutuhkan untuk membuat dunia nampak sebagai tempat yang teratur.
B.  Studi Empiris Etnometodologi
Esensi dari etnometodologi tidak hanya terletak pada pernyataan teoritis, namun pada studi empiris (pengaplikasian). Karena semua pengetahuan teoritis tentang etnometodologi, itu lahir dari studi empiris. Studi empiris etnometodologi terletak pada studi (kajian) mengenai “percakapan” yang dilakukan manusia dalam interaksi sehari-harinya.
Percakapan adalah aktivitas interaksi yang menunjukkan aktivitas yang stabil dan teratur yang merupakan kegiatan yang dapat dianalisis[4]. Analisis Percakapan (conversation analysis) memiliki tujuan untuk memahami secara rinci struktur fundamental interaksi melalui percakapan. Analisis percakapan lebih memusatkan perhatian pada hubungan antara ucapan dalam percakapan ketimbang hubungan antara pembicara dan pendengar.
            Analisis Percakapan merupakan salah satu ranah yang paling berkembang dan paling kaya dalam etnometodologi. Analisis percakapan dianggap sebagai program yang penting dan paling sempurna dari etnometodologi. Praktek ini dibangun oleh Harvey Sack, di pertengahan tahun enam puluhan, dengan menjadikan percakapan sebagai tema utama penelitiannya.
Menurut Zimmerman, tujuan dari analisis percakapan adalah untuk memahami secara mendetail struktur fundamental dari interaksi percakapan. Lebih lanjut Zimmerman, merangkum dasar-dasar analisis percakapan dalam lima premis[5].
Pertama, Analisis percakapan mensyaratkan adanya kumpulan dan analisis data yang mendetail. Data ini meliputi tidak hanya kata-kata tetapi juga keragu-raguan, desah nafas, sedu sedan, gelak tawa, perilaku non verbal dan berbagai aktivitas lain. Semua itu menggambarkan perbuatan percakapan aktor yang terlibat.
Kedua, Bahkan detail percakapan harus dianggap sebagai suatu prestasi. Aspek-aspek percakapan tidak diatur oleh etnometodolog, aspek tadi diatur oleh aktivitas metodis dari para aktor itu sendiri. Ketiga, Interaksi pada umumnya dan percakapan pada khususnya mempunyai sifat-sifat yang stabil dan teratur hingga keberhasilan para aktor akan dilibatkan.
Keempat, Landasan fundamental dari percakapan adalah organisasi yang sequential. Kelima, Keterikatan bidang interaksi percakapan diatur dengan dasar lokal atau dengan bergilir.
Sebagai sebuah metode yang meletakkan studinya pada kegiatan manusia sehari-hari atas dasar commen sense, Etnometodologi melihat realitas common sense dan eksisitensi sehari-hari manusia merupakan kepentingan praktis dalam kehidupan sosial. Dalam melakukan kemampuan-kemampuan praktikalnya (kepentingan praktis) individu berpangkal pada sebauh pemahaman dan atau keyakinan akan fakta yang berdasar pada akal sehat dan kreasi.
Dilengkapi dengan pengetahuan akal sehat dan dengan kepercayaan (pemahaman) akan fakta, karakter teratur dunia, para anggota bergerak maju dan membuat setiap situasi dimana mereka berpartisipasi menjadi masuk akal. Etnometodologi menekankan bahwa setiap situasi sosial itu unik. Kata-kata yang diucapkan adalah indeksial (percakapan indeksial). Artinya bahwa kata-kata itu hanya masuk akal pada kesempatan atau waktu tertentu ketika mereka menggunakannya. Tetapi mereka juga menekankan bahwa para anggota, yang secara tidak disadari terlibat dalam mengidentifikasi keteraturan dan realitas objektif, memandang segala sesuatu secara berbeda. Mereka mengidentifikasi kesamaan suatu kejadian dengan kejadian lain. Mereka memilih dari semua hal yang terjadi disekitar mereka bukti yang mendukung pandangan bahwa hal-hal yang eksis atau yang terjadi adalah tipikal dunia. Bagi mereka, suatu situasi sosial adalah sebuah pelajaran, dan suatu pola dibangun padanya dengan menggunakan pengetahuan akal sehat[6].        
Dengan pengetahuan akal sehat itu pula, jarak-jarak perbedaan persepsi tentang suatu kejadian diisi atau didekatkan dengan cara yang sama oleh pendengar-pendengar yang berbeda untuk meyakinkan diri mereka kembali bahwa sesuatu yang terjadi itu adalah sebagaimana nampaknya, dan merupakan kemampuan praktikal yang dilakuakan individu atas dasar kapasitas kreasi dan akal sehat.  
Penutup
Etnometodologi jelas memiliki cara pandang yang berbeda dengan teori struktural dan interaksionis dalam melihat realita sosial. Sebagaimana dijelaskan diatas, bahwa teori struktural melihat gambaran yang paling signifikan dari kehidupan sosial manusia adalah dalam kekuatan-kekuatan eksternal yang bersifat memaksa individu. Sehingga dalam memahami perilaku sosial harus dibangun pemahaman atas determinasi struktural dalam kehidupan manusia. Sementara bagi kalangan interaksionis, pelaku (individu) ditempatkan sebagai objek perioritas. Sehingga teori ini membangun pemahaman dengan terlebih dahulu memahami tindakan-tindakan sosial individu.
Bagi etnometodologi, minat dan kepentingannya berbeda. Satu-satunya yang dapat dideskripsikan dengan pasti dalam kehidupan sosial adalah semua yang dilakukan individu secara bersama dalam kesehariannya yang berpangkal pada akal dan kreasi. Akahirnya, etnometodologi sampai pada sebuah keyakinan bahwa pendekatan ini mampu menunjukkan kebenaran tentang apa yang individu bangun melalui upaya mereka sendiri.

DAPTAR PUSTAKA
Jones. Pip, Pengantar Teori-Teori Sosial Dari Teori Fungsionalisme Hingga Teori Postmodernisme, 2009, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Ritzer. George dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, 2004, Jakarta : Prenada Media. 



















[1] George Ritzer dan Douglass J Goodman. 2004. Teori Sosiologi Modern. Jakarta : Prenada Media. hlm : 322
[2] Ibid, 322-333
[3] Pip Jones. 2009. Pengantar Teori-Teori Sosial. Jakarta : Yayasan Obor. hlm : 161 
[4] Op-cit, hlm : 327
[5] Ibid, hlm : 327-328
[6] Pip Jones. ibid, : 163 

Sunday, May 13, 2012

Mengurai Perubahan Sosial dalam Masyarakat; definisi, faktor, dan kategori perubahan sosial.


Tidak ada masyarakat yang stagnan” begitu kata Talcott Parsons juga Darwin. Keduanya sama-sama memberikan isyarat bahwa masyarakat akan senantiasa bergerak dan berevolusi secara alamiah untuk melakukan perubahan. Proses perubahan itu menurut Darwin merupakan seleksi alam dan bagi Parsons adalah gerak dasar bagi setiap manusia maupun kelompok masyarakat. Keduanya berpandangan bahwa proses itu tidak dapat dihentikan karena merupakan hukum perkembangan manusia (masyarakat).
Bagi Mac Iver perubahan sosial merupakan perubahan yang mengarah pada terciptanya keseimbangan sosial (equilibrium of social relationship). Kemudian Gillin melihat perubahan sosial sebagai perubahan cara-cara hidup akibat perubahan geografis, budaya, komposisi penduduk, inovasi, ideologi, dan difusi. Ada lagi Samuel Koenic yang melihat perubahan sosial sebagai modifikasi sosial. Dan adalah Selo Soemardjan yang mengartikan perubahan sosial sebagai perubahan lembaga-lembaga kemasyarakatan, yang mempengaruhi sisitem sosial sehingga berpengaruh terhadap nilai-nilai sosial dan tindakan sosial.
Perubahan sosial dapat dilihat dari dua perspektif, yakni evolusi dan revolusi. Seperti telah dijelaskan diawal, perubahan sosial (masyarakat) bisa terjadi dengan cara sukarela mengikuti gerak alam atau evolusi, dan melalui arah perubahan yang dipaksakan yakni dengan cara radikal atau revolusi. Dan kedua pandangan ini, merupakan dua teori yang sampai sekarang masih merupakan teori utama yang selalu dipakai dalam melihat fenomena perubahan sosial dalam masyarakat.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perubahan sosial, diantaranya : 1) faktor ekonomi. Faktor ini lebih melihat pada penggunaan materi sebagi pengukur dari perubahan seseorang. Keadaan seseorang dari miskin menjadi kaya, dapat memberikan perubahan pada pola hidup orang tersebut.2) faktor ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Ilmu pengetahuan mengajarkan manusia beraneka ragam macam kemampuan dalam rangka mencapai perubahan, dan tekhnolgi memberikan banyak tawaran sarana yang dapat dipergunaakan manusia untuk mencapai level perubahan tersebut. 3) faktor geografis. Faktor ini dapat disebabkan oleh adanya bencana alam, seperti gempa dan sebagainya. Hal ini menyebabkan manusia harus berpindah dari tempat awalnya dan beradaptasi lagi dengan sistem baru yang ada ditempat barunya. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya perubahan dalam masyarakat. 4) faktor biologis. Biasanya semakin manusia beranjak umurnya, akan terjadi kelainan genetik yang dapat menyebabkannya menjadi berubah dari sifat dasarnya.
Selain faktor, perubahan sosial juga memiliki beberpa tipe. Diantara tipe-tipe perubahan sosial diantanya yakni, proses sosial, segmentasi, struktural, dan change in gruop. Proses sosial menjadi tipe yang akan selalu dilalui oleh individu maupun masyarakat dalam mencapai suatu perubahan. Segmentasi adalah tipe perubahan sosial yang terjadi di lingkup kecil (seperti perubahan pada keluaraga) karena bersifat sektoral. Kemudia tipe struktural merupakan tipe perubahan yang terjadi pada areal yang lebih luas. Misalnya terjadinya perubahan pada suatu negara akibat dari pergantian kepemimpinan. Dan tipe terakhir yakni tipe change in group. Tipe ini terjadi pada wilayah group atau kelompok, perubahan ini berbentuk in-group dan out-group. In-group adalah tempat dimana seorang individu mengidentifikasi dirinya sebagai anggota, dan out-group diartikan individu sebagi lawan dari in-groupnya.
Perubahan sosial tidak hanya terjadi dan berkaitan dengan nilai-nilai sosial dan norma-noram sosial ataupun sistem-sistem dan struktur-struktur sosial masyarakat. Tapi juga erat kaitannya dengan kebudayaan. Kingsley Davis berpendapat bahwa perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan kebudayaan. Meskipun pendapat ini akhirnya ditentang oleh Koenjaranigrat yang melihat perubahan sosial berbeda dengan perubahan kebudayaan karena adanya perbedaan pengertian mengenai budaya dan perubahan sosial itu sendiri.
Perubahan sosial (di Indonesia misalnya) dilihat sebagai modernisasi, yakni terjadinya transformasi kehidupan tradisional masyarakat dalam ideologi dan organissasi sosialnya ke model yang lebih ekonomis dan politis melalui pola yang lebih terencana (social plan). Modernisasi merupakan pola hidup yang lebih rasional (rasionalistik). Sebagaimana dikatakan giddens, “ modernitas berarti upaya terus-menerus perbaikan kehidupan dan upaya mencapai kemajuan. Tidak seperti latar tradisional, dimana pandangan mengenai sesuatu relatif sama dan tetap, maka dalam dunia modern perubahan, perkembangan, dan perbaikan adalah tujuannya”. Seperti yang dikatakan Cheal, bahwa keyakinan terhadap kemajuan berarti “ meyakini bahwa keadaan esok harus selalu lebih baik daripada hari ini, yang kemudian berarti harus siap mengubah keteraturan yang sudah ada untuk mencapai kemajuan. Dengan kata lain, harus siap dan berani membongkar tradisi”.
Sedikit melihat keterkaitan perubahan sosial dengan agama. Dalam perspektif agama, perubahan sosial akan melalui tiga tahapan; a). Tahap masyarakat pra modern ke modern dan industrial. b). Tahap masyarakat pra agraris ke agraris dan industrial. c). Tahap masyarakat modern ke post-modern. Ditengah perubahan sosial, agama berfungsi sebagai organisme sosial, sebagai wilayah yang dan berperan diluar oragnisme sosial, dan sebagai motif-motif sosial (spritualitas agama) dalam tindakan-tindakan sosial.

Bahan Bacaan
Barry, David. 2003. Pokok-pokok Pikiran Dalam Sosiologi. Jakarta : Raja Grafindo Persada
Jones, Pip. 2009. Pengantar Teori-Teori Sosial Dari Teori Fungsionalisme Hingga Post-Modernisme. Jakarta : Buku Obor
Soekanto, Soerjono. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : RajaGrafindo Persada


Tuesday, May 8, 2012

Perkembangan Study Islam Di Dunia Barat



A. Pengertian Studi Islam
Studi Islam atau Dirosah Islamiyah (barat dikenal dengan istilah Islamic Studies), secara sederhana dapat dikatakan sebagai usaha untuk mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan agama Islam.
Dikalangan para ahli masih terdapat perdebatan tentang Studi Islam (agama). Jika dilihat dari sisi Normativitas, kurang pas rasanya untuk dikatakan sebagai disiplin ilmu, karena normativitas studi Islam agaknya terbebani oleh misi keagamaan yang bersifat subyektif, dan apologis, yang menyebabkan kadar muatan analisis, kritis, metodologis, histories, empiris, terutama dalam menelaah teks-teks atau naskah-naskah keagamaan produk sejarah terdahulu kurang begitu ditonjolkan. Sedangkan bila dilihat dari sisi Historisitas, tampaknya tidaklah salah . Inilah Islam kalau dilihat secara historisitas yakni Islam dalam arti yang dipraktikkan oleh manusia serta tumbuh dan berkembang dalam sejarah kehidupan manusia, maka Islam dapat dikatakan sebagai sebuah disiplin ilmu, yakni ilmu keislaman atau Islam Studies.
B. Sejarah Perkembangan Studi Islam di Dunia Barat
Masa Renaisance (abad pertengahan : 1250-1800 M) adalah masa dimana peradaban Barat menuai kebangkitannya sementara peradaban Islam mengalami stagnasi. Renaisance membawa perubahan baru bagi dunia Barat dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Ekonomi.  Dan perkembangan tersebut banyak dipengaruhi oleh peradaban Islam. Sebagaimana kita ketahui di masa kejayaan Islam, Andalusia (Spanyol) pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah merupakan salah satu tempat yang mengalami kemajuan dalam bidang pendidikan, politik, sosial, dan ekonomi. Terbukti dengan adanya beberapa universitas Islam yang didirikan. Seperti universitas Cordova, Seville, Malaga, Granada, dan Salamanca. Pada waktu itu beberapa tokoh-tokoh Barat datang mengunjungi universitas-uninersitas tersebut untuk memperdalam ilmu mereka. Selama mereka belajar, mereka melakukan penerjemahan ilmu-ilmu karya tokoh-tokoh muslim kedalam bahasa Latin. Hal ini didukung oleh King Frederick H (mantan Kaisar Holy Roman Empire : 1215-1250) yang dipimpin oleh Petrus Venerabilis dengan cara membayar orang Spanyol sebagai penerjemah. Kegiatan ini berpusat di Toledo dan Palemo.
Dan ketika mereka kembali ke negaranya masing-masing, mereka ditantang oleh Paus di Vatikan untuk mendirikan universitas-universitas serupa. Kemudian berdirilah perguruan tinggi-perguruan tinggi disemenanjung Italia, Padua, Florence, Milano, Venezia, disusul oleh Oxford dan Cambridge di Inggris, Sorbone di Francis, dan Tubingen Di Jerman. Setelah berdirinya universitas-universitas diatas, membukakan jalan bagi Barat untuk mengembangkan dunia ilmu pengetahuannya.
Jadi jelaslah, sejarah Berkembanganya Studi Islam di Dunia Barat adalah disebabkan para pelajar barat yang datang ke dunia timur  untuk mengkaji ilmu. Disamping itu juga mereka telah berhasil menterjemahkan karya-karya ilmuan muslim kedalam bahasa latin. Gerakan ini pada akhirnya menimbulkan massa pencerahan dan revolusi industri, yang menyebabkan Eropa maju. Dengan demikian Andalusia merupakan sumber-sumber cahaya bagi Eropa, memberikan kepada benua itu manfaat dari ilmu dan budaya islam selama hampir tiga abad.
C. Perkembangan Studi Islam di dunia Barat
Usaha mempelajari agama Islam tidak hanya terbatas pada kalangan umat muslim semata, namun dilakukan pula oleh orang-orang diluar kalangan islam. Orang-orang inilah yang disebut dengan istilah kaum “Orientalist”. Namun orientasi pembelajaran Islam oleh kedua kalangan ini tentunya berbeda. Studi Islam yang dilakukan oleh kalangan umat muslim bermaksud untuk memahami dan mendalami serta membahas ajaran-ajaran islam yang kemudian dijadikan sebagai pegangan dan pedoman hidup (way of live). Sementara Studi Islam yang dilakukan oleh kalangan orientalist bermaksud untuk mempelajari seluk-beluk ajaran islam dan semata-mata menjadikannya sebagai Ilmu Pengetahuan (Muhaimin dkk : 1994). Hal ini yang membuat Islam lebih dikenal sebagai sains diduia barat (sains islam).
Pada dasarnya Studi Islam dan Sains Islam ada perbedaan dan persamaan. Persamaan studi dan sains terletak pada objek kajiannya. Yakni ilmu pengetahuan. Sedangkan perbedaannya, Studi Islam adalah suatu ilmu pengetahuan yang dirumuskan dari ajaran islam yang dipraktekkan dalam sejarah dan kehidupan manusia. Sedangkan Sains Islam adalah suatu ilmu pengetahuan yang mencakup berbagai pengetahuan modern seperti kedokteran, astronomi, matematika, fisika, dan sebagainya yang dibangun atas arahan nilai-nilai islami. Sains Islam sebagaimana dikemukakan Hussein Nasr adalah sains yang dikembangkan oleh kaum muslimin sejak abad islam ke-2, yang keadaannya sudah tentu merupakan salah satu pencapaian besar dalam peradaban islam. Selama kurang lebih 700 tahun, sejak abad ke-2 hingga ke-9 Masehi, peradaban islam mungkin merupakan peradaban yang paling produktif dibandingkan peradaban manapun jua. Dari Sains Islam inilah membuat orang barat tertarik untuk mempelajari ilmu pengetahuan islam yang sampai terkenal di Eropa. Al hasil, menurut Harun Nasution; salah satu contoh kemajuan orang barat adalah ketika Napoleon melakukan Ekspedisi ke Mesir dengan memperkenalkan ilmu pengetahuan dengan membawa 167 ahli dalam berbagai cabang ilmu. Diapun membawa dua set alat percetakan huruf Latin, Arab, dan Yunani. Ekspedisi itu datang bukan hanya untuk kepentingan militer, tetapi juga untuk kepentingan ilmiah. Untuk kepentingan ilmiah, Napoleon membentuk lembaga ilmiah yang disebut dengan Institut d ‘Egypte yang mempunyai empat bidang ilmu kajian, yaitu ilmu pasti, ilmu kalam, ilmu ekonomi dan politik, serta ilmu sastra dan seni.Pada akhir tahun 1801 Masehi.
Dalam perkembangan studi Islam di dunia Barat, obyek pengkajian dapat digolongkan menjadi dua. Pertama, pengkajian bahasa arab. Studi Islam mensyaratkan kajian intensif mengenai bahasa arab yang berkembang sejak permulaan abad 19, dan melahirkan pakar-pakar bahasa arab di barat seperti A.I. Sylvestre de Sacy (Prancis) dan Johan Jakob Reiske  (Jerman). Kedua, pengkajian teks. Kajian teks hanya dapat dilakukan oleh kalangan-kalangan yang memiliki pengetahuan solid mengenai bahasa arab.

Bahan Bacaan
Muhaimin, Tadjab dan Abd. Mujib. 1994. Dimensi-dimensi Studi Islam. Surabaya: Karya
                 Abditama.