Pendahuluan
Dalam kehidupan yang
sifatnya dinamis ini, manusia sebagai makhluk sosial tidak akan pernah bisa
lepas dari individu-individu yang lain. Sehingga mereka akan selalu bersentuhan
dengan indvidu lainnya, dengan kelompok individu, bahkan antara kelompok
individu dengan kelompok individu yang lain, atau dalam dunia sosial lebih
dikenal dengan istilah Interaksi Sosial.
Interaksi sosial yang terbangun melahirkan gejala-gejala sosial (fakta sosial)
dalam kehidupan masyarakat. Ilmu sosial hadir dengan tujuan untuk membangun
pemahaman atas setiap fakta sosial yang terjadi ditengah masyarakat. Pemahaman
tersebut dapat ditempuh melalui pengamatan sosial. Pengamatan sosial tidak
hanya dilakukan dengan satu cara dan dari satu sudut pandang sosial saja,
sehinggan hal ini kemudian melahirkan banyak metodologi yang dapat dipergunakan
dalam melakukan pengamatan sosial. Diantara metodologi yang ada salah satunya
adalah Etnometodologi.
Pengamatan atas fakta
sosial yang dilakukan oleh ahli ilmu sosial dewasa ini masih terklasifikasi
dalam dua wilayah objek kajian, yakni pengamatan yang dititikberatkan pada
persoalan-persoalan makro, dan pengamatan yang tertuju pada persoalan-persoalan
mikro. Emile Durkheim misalnya, adalah salah satu tokoh sosiologi yang
menempatkan pengamatannya pada persoalan makrososiologi (struktur sosial dan
pranata sosial). Durkheim berangkat dari pemahaman bahwa fakta sosial berada
diluar dan bersifat memaksa individu untuk mengikuti struktur dan peranata sosial
yang ada. Kemudian adalah Max Weber salah satu tokoh termasyhur dalam dunia
sosiologi yang meletakkan pengamatan pada wilayah mikrososiologi seperti
Tindakan Sosial. Weber berangkat dari pemahaman bahwa individulah yang
membangun struktur sosial, sehingga mengamati persoalan sosial tidak bisa
langsung tertuju pada struktur sosial (makrososiologi) yang ada namun harus
diawali dengan mengamati tindakan sosial individu (mikrososiologi).
Berbeda dengan kedua
tokoh ahli sosiologi diatas, Harold Garfinkel sebagai pencetus teori
Etnometodologi melihat fakta sosial sebagai sesuatu yang fundamental dalam kehidupan
sosial. Sehingga dalam penggunaannya Etnometodologi tidak terpaku pada hal-hal
yang sifatnya makro maupun mikro, namun memusatkan pengamatannya pada interaksi
sosial yang dilakukan manusia dalam kesehariannya, salah satunya melalui
pengamatan Etnometodologi atas percakapan sehari-sehari yang dilakukan manusia.
Etnometodologi
meletakkan studi mengenai kegiatan manusia sehari-hari atas dasar common sense. Realitas common sense dan
eksisitensi sehari-hari manusia merupakan kepentingan
praktis dalam kehidupan sosial. kepentingan praktis kemudian dilawankan
dengan kepentingan ilmiah (teoritis).
Teori ilmiah membangun pemahaman atas realitas sosial melalui penelitian yang
sisitematis dan teoritis. Bagi Alferd Schutzs (tokoh sosial yang mempengaruhi
Garfinkel dalam melahirkan teori Etnomrtodologi) manusia bergerak bukan berdasarkan
teori ilmiah melainkan atas dasar common sense atau kepentingan praktis. Pada
wilayah inilah (kepentingan praktis) etnometodologi hadir sebagai alat
pengamatan pergerakan keseharian manusia untuk membangun pemahaman utuh atas fakta
sosial yang tengah tertebar di masyarakat.
Pembahasan
A.
Pengertian Etnometodologi
Istilah Etnometodologi
(ethnomethodolgy) berasal dari bahasa
Yunani yang berarti metode, yang
digunakan orang dalam menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Etnometodologi
pada dasarnya merupakan kumpulan pengetahuan berdasarkan akal sehat dan
rangkaian prosedur dan pertimbangan (metode) yang dengannya maasyarakat biasa
dapat memahami, mencari tahu, dan bertindak berdasarkan situasi dimana mereka
menemukan dirinya sendiri.
Pemahaman
lebih mendalam tentang sifat dasar etnometodologi akan bisa didapatkan dengan
meneliti upaya pendirinya Harold Garfinkel untuk mendefinisikannya. Sebagaimana
Durkheim, Garfinkel menganggap fakta sosial sebagai fenomena sosiologi
fundamental. Namun fakta sosial menurut Garfinkel sangat berbeda dari fakta
sosial menurut Durkehim. Menurut Durkheim, fakta sosial berada diluar dan
memaksa individu. Pandangan ini cenderung melihat aktor dipaksa atau ditentukan
oleh struktur dan pranata sosial dan sedikit sekali kemampuannya atau tidak
mempunyai kebebasan untuk memuat pertimbangan. Sebaliknya etnometodologi
membicarakan obyektivitas fakta sosial sebagai prestasi anggota, sebagai produk
aktivitas metodologis anggota. Dengan kata lain etnometodologi memusatkan
perhatian pada organisasi organisasi kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, Etnometodologi
bukanlah makrosoiologi dalam arti yang dimaksud Durkheim, tetapi bukan juga
sebagai mikrososiologi. Sehingga etnometodologi memusatkan perhatian pada
aktivitas sehari-hari individu.
Etnometodologi memiliki tiga dasar asumsi,
yakni:
1. Kehidupan
sosial pada dasarnya tidak pasti; namun,
2. Para
pelaku tidak menyadari hal ini, karena
3. Tanpa
mereka ketahui, mereka memiliki kemampuan yang dibutuhkan untuk membuat dunia
nampak sebagai tempat yang teratur.
B. Studi
Empiris Etnometodologi
Esensi dari
etnometodologi tidak hanya terletak pada pernyataan teoritis, namun pada studi
empiris (pengaplikasian). Karena semua pengetahuan teoritis tentang
etnometodologi, itu lahir dari studi empiris. Studi empiris etnometodologi
terletak pada studi (kajian) mengenai “percakapan”
yang dilakukan manusia dalam interaksi sehari-harinya.
Percakapan adalah
aktivitas interaksi yang menunjukkan aktivitas yang stabil dan teratur yang
merupakan kegiatan yang dapat dianalisis.
Analisis Percakapan (conversation analysis)
memiliki tujuan untuk memahami secara rinci struktur fundamental interaksi
melalui percakapan. Analisis percakapan lebih memusatkan perhatian pada
hubungan antara ucapan dalam percakapan ketimbang hubungan antara pembicara dan
pendengar.
Analisis Percakapan merupakan salah satu ranah yang
paling berkembang dan paling kaya dalam etnometodologi. Analisis percakapan
dianggap sebagai program yang penting dan paling sempurna dari etnometodologi.
Praktek ini dibangun oleh Harvey Sack, di pertengahan tahun enam puluhan,
dengan menjadikan percakapan sebagai tema utama penelitiannya.
Menurut Zimmerman, tujuan dari analisis percakapan adalah untuk
memahami secara mendetail struktur fundamental dari interaksi percakapan. Lebih
lanjut Zimmerman, merangkum dasar-dasar analisis percakapan dalam lima premis.
Pertama, Analisis percakapan mensyaratkan adanya kumpulan dan
analisis data yang mendetail. Data ini meliputi tidak hanya kata-kata tetapi
juga keragu-raguan, desah nafas, sedu sedan, gelak tawa, perilaku non verbal
dan berbagai aktivitas lain. Semua itu menggambarkan perbuatan percakapan aktor
yang terlibat.
Kedua, Bahkan detail percakapan
harus dianggap sebagai suatu prestasi. Aspek-aspek percakapan tidak diatur oleh
etnometodolog, aspek tadi diatur oleh aktivitas metodis dari para aktor itu
sendiri. Ketiga, Interaksi pada
umumnya dan percakapan pada khususnya mempunyai sifat-sifat yang stabil dan
teratur hingga keberhasilan para aktor akan dilibatkan.
Keempat, Landasan fundamental
dari percakapan adalah organisasi yang sequential. Kelima, Keterikatan bidang interaksi percakapan diatur dengan dasar
lokal atau dengan bergilir.
Sebagai sebuah metode
yang meletakkan studinya pada kegiatan manusia sehari-hari atas dasar commen
sense, Etnometodologi melihat realitas common sense dan eksisitensi sehari-hari
manusia merupakan kepentingan praktis
dalam kehidupan sosial. Dalam melakukan kemampuan-kemampuan praktikalnya
(kepentingan praktis) individu berpangkal pada sebauh pemahaman dan atau
keyakinan akan fakta yang berdasar pada akal sehat dan kreasi.
Dilengkapi dengan
pengetahuan akal sehat dan dengan kepercayaan (pemahaman) akan fakta, karakter
teratur dunia, para anggota bergerak maju dan membuat setiap situasi dimana
mereka berpartisipasi menjadi masuk akal. Etnometodologi menekankan bahwa
setiap situasi sosial itu unik. Kata-kata yang diucapkan adalah indeksial
(percakapan indeksial). Artinya bahwa kata-kata itu hanya masuk akal pada
kesempatan atau waktu tertentu ketika mereka menggunakannya. Tetapi mereka juga
menekankan bahwa para anggota, yang secara tidak disadari terlibat dalam
mengidentifikasi keteraturan dan realitas objektif, memandang segala sesuatu
secara berbeda. Mereka mengidentifikasi kesamaan suatu kejadian dengan kejadian
lain. Mereka memilih dari semua hal yang terjadi disekitar mereka bukti yang
mendukung pandangan bahwa hal-hal yang eksis atau yang terjadi adalah tipikal
dunia. Bagi mereka, suatu situasi sosial adalah sebuah pelajaran, dan suatu
pola dibangun padanya dengan menggunakan pengetahuan akal sehat.
Dengan pengetahuan akal sehat itu pula, jarak-jarak perbedaan
persepsi tentang suatu kejadian diisi atau didekatkan dengan cara yang sama
oleh pendengar-pendengar yang berbeda untuk meyakinkan diri mereka kembali
bahwa sesuatu yang terjadi itu adalah sebagaimana nampaknya, dan merupakan
kemampuan praktikal yang dilakuakan individu atas dasar kapasitas kreasi dan
akal sehat.
Penutup
Etnometodologi jelas memiliki cara pandang yang berbeda dengan
teori struktural dan interaksionis dalam melihat realita sosial. Sebagaimana dijelaskan
diatas, bahwa teori struktural melihat gambaran yang paling signifikan dari
kehidupan sosial manusia adalah dalam kekuatan-kekuatan eksternal yang bersifat
memaksa individu. Sehingga dalam memahami perilaku sosial harus dibangun pemahaman
atas determinasi struktural dalam kehidupan manusia. Sementara bagi kalangan
interaksionis, pelaku (individu) ditempatkan sebagai objek perioritas. Sehingga
teori ini membangun pemahaman dengan terlebih dahulu memahami tindakan-tindakan
sosial individu.
Bagi etnometodologi, minat dan kepentingannya berbeda.
Satu-satunya yang dapat dideskripsikan dengan pasti dalam kehidupan sosial
adalah semua yang dilakukan individu secara bersama dalam kesehariannya yang
berpangkal pada akal dan kreasi. Akahirnya, etnometodologi sampai pada sebuah
keyakinan bahwa pendekatan ini mampu menunjukkan kebenaran tentang apa yang
individu bangun melalui upaya mereka sendiri.
DAPTAR
PUSTAKA
Jones.
Pip, Pengantar Teori-Teori Sosial Dari
Teori Fungsionalisme Hingga Teori
Postmodernisme, 2009, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Ritzer.
George dan Douglas J. Goodman, Teori
Sosiologi Modern, 2004, Jakarta : Prenada Media.