Monday, April 23, 2012

Makalah Eksistensi Islam di Era Globalisasi


Pendahuluan
“Tidak ada manusia yang stagnan” demikian isyarat yang ditampakkan oleh sosiolog Auguste Comte, Talcott Parsons, juga Charles Darwin. Ketiganya mengisyaratkan terjadinya pergerakan yang dialami manusia yang membawa pada sebuah perubahan sosial. Bagi Parsons perubahan sosial tersebut merupakan “gerak dasar’ bagi setiap manusia (masyarakat), dan merupakan seleksi alam bagi Darwin, dan arus perubahan ini akan terus berjalan karena merupakan hukum evolusi sosial-yang tidak dapat dihentikan-sebagaimana diteorikan oleh Comte.
Seturut perputaran waktu, spektrum perubahan yang terdapat di masyarakat semakin dinamis. namun yang mesti diwaspadai, laju perubahan tidak selalu mengarah pada perubahan yang positive, namun cenderung negative. Hal ini dipengaruhi oleh banyak factor, seperti factor geografis, politik, ekonomi, agama, dan perkembangan zaman yang membayangi kehidupan sosial manusia.
Hari ini kehidupan manusia telah sampai pada sebuah era yang menghendaki hilangnya batasan-batasan diantara manusia. Sebuah zaman yang kita kenal sebagai era Globalisasi. Globalisasi menjadi klimaks (bukan antiklimaks, karena mungkin akan ada fase selanjutnya)  dari fase perkembangan peradaban manusia. Sebuah era yang ditandai oleh banyak penemuan-penemuan baru diberbagai bidang, dan telah dianggap membawa manusia ke perubahan peradaban yang begitu fantastic.
Globalisasi membawa visi membangun kehidupan yang modern, yang akan memberikan kemudahan dalam kelangsungan hidup manusia. Secara praktis, manusia dibikin mudah oleh temuan modernitas; menciptakan kemungkinan bagi perbaikan taraf hidup manusia, mengangkat penderitaan fisik, dan meringankan beban berat manusia. Era ini (baca: Globalisasi) telah menghilangkan sekat pemisah bagi manusia disegala penjuru dunia, dimana setiap individu dapat mengakses secara mudah perkembagan dan penemuan ilmu pengetahuan yang bergerak cepat dari hari ke hari[1].
Arus Globalisasi disertai juga oleh perubahan sosial yang begitu compleks. Komplekstias perubahan tersebut meliputi (hampir) seluruh dimensi kehidupan manusia. Tidak hanya pada dimensi ekonomi-politik (yang merupakan pintu masuk Globalisasi) tapi juga menyerang sisi kebudayaan suatu Negara tak terkecuali juga sisi keagamaan (religiousitas) masyarakat kita. Perubahan social yang begitu “dramatis” telah melanda kehidupan beragama kita dan merupakan persoalan baru dan tantangan tersendiri bagi sebuah Agama yang masih eksis di tengah-tengah kehidupan yang modern nan global.
Salah satu persoalan krusial sebagai dampak proses gloobalisasi yang terkait dengan kehidupan keagamaan adalah semakin menipisnya ruang “religousitas” dalam kehidupan manusia. Temuan-temuan empiric dan perkembangan pengetahuan menghadapkan kepada manusia (beragama) sebuah realitas akan kekuasaan manusia di muka semesta ini. Hal-hal yang seblumnya dianggap sebagai “misteri Tuhan” satu persatu, telah jatuh ke tangan manusia melalui eksperimentasi yang mereka lakukan. Maka tak ayal agama pun semakin kehilangan daya signifikansi dan perannya di tengah kehidupan manusia[2]. Dan masih ada banyak permasalahan lagi yang timbul karena dampak proses Globalisasi. Hanya sekedar menyebutkan; ada permasalahan “dehumanisasi’ dalam bidang social, terbukanya pola “pasar bebas” dalam bidang ekonomi, tersebarnya praktik “demokrasi liberal” dalam bidang politik, dan ancaman lunturnya “kearifan local” dalam bidang kebudayaan. Tapi makalah ini tidak akan mengeksplor semua permasalahan-permasalahan tersebut, tapi akan lebih terkonsentrasi pada persoalan keagamaan.    
Tantangan keagamaan dewasa ini, terutama banyak mengarah kepada agama Islam yang merupakan agama dengan jumlah penganut terbanyak di dunia. Juga karena adanya persilangan Idology dan Paradigma dalam mmelihat muatan-muatan globalisasi yang saat ini tengah didominasi oleh peradaban Barat. Perselisihan antara Islam dengan Barat juga menjadi bagian yang telah memberikan warna tersendiri dalam era globalisasi.
Substansi penulisan makalah ini akan banyak berbicara seputar islam dan globalisasi. Dalam bab pembahasan, akan dibahas seputar definisi globalisasi secara umum, dan secara khusus akan dilihat dari perspektif Islam. Juga tentang benturan-benturan Islam dengan Barat (sebagai peradaban yang lebih dominan), dan penulis mencoba melihat posisi (reposisi) Islam, karena ini akan sangat berkaitan dengan eksistensi Islam di era Globalisasi.
Pembahasan
“Eksistensi Islam di Era Globalisasi”
a.    Pra-wacana
Globalisasi yang melanda dunia tidak hanya pada satu bidang saja, tetapi terdapat pada berbagai bidang. Seperti politik, ekonomi, kebudayaan, dan agama. Globalisasi yang terjadi di berbagai bidang tentu saja akan memberi pengaruh dan membawa perubahan bagi dunia di masa yang akan datang.
Dalam era globalisasi saat ini, tentu akan terdapat perbedaan-perbedaan dalam peradaban. Perbedaan tersebut kadangkala dapat memicu terjadinya pertarungan. Namun, ada kalanya pertarungan peradaban tidak perlu dilakukan. Terlebih jika peradaban yang ada dapat hidup berdampingan, terjadinya dialog, dan saling memberi. Tetapi, tetap saja, kita sebagai umat muslim tidak boleh melupakan agenda besar dibalik globalisasi.
Pertarungan yang terjadi dapat berupa pertarunga ideology, dan perebutan pengaruh antara antara Islam dan Globalisasi. Globalisasi direpresentasikan melalui perdaban Barat dengan spirit modernitasnya, yang dalam banyak wilayah tidak sejalan dengan prinsip Islam. Sehingga dalam banyak perjalanan globalisasi, Islam kerap berbenturan dan atau bersilang pendapat dengan Barat. Dalam keadaan seperti ini Islam harus mampu menemukan jati dirinya ditengah menguatnya arus globalisasi yang mengancam kepunahan agama, tentunya agar Islam mampu bertahan hingga akhir zaman.
b.   Benturan Islam dengan Barat
Benturan Islam dan Barat (globalisasi) merupakan isu yang selalu hangat diperbincangkan.  Dengan latar belakang budaya dan ideologi yang khas di antara keduanya. Dan disinalah akan dikupas secara mendalam apakah keduanya bisa berjalan secara harmonis, bagaimana globalisasi dengan segala kekuatannya dan Islam yang memiliki setting dan alasan tersendiri yang berbeda keberadaannya. Hal ini disebabkan karena sementara agama bertumpu pada apa yang disebut Rodulf Otto the Holy atau the sacred dan bersifat holistik, sedangkan globalisasi dengan segala prangkatnya yang bertumpu pada pandangan dunia sekuler yang justru menyisihkan segala bentuk sakralitas.[3]
Islam adalah kekuatan dinamis masyarakat muslim yang mengendalikan segala aspek kehidupan, mulai dari cara berpakaian, pergaulan, budaya, politik, keilmuan dan seterusnya. Kekuatan dinamis itu akan terus ada sekaligus menjadi ciri khas bagi mereka. Namun, beberapa persoalan penting juga muncul bersamaan dengan perkembangan situasii dan zaman[4]. Sebagaimana pada era globalisasi ini, dimana muncul ketegangan baru antara Islam dengan Barat. Keduanya seolah berhadapan sebagai lawan yang saling menghancurkan. Apakah demikian? Nah, disinilah kita dituntut untuk mengetahui apakah diantara keduanya bisa berjalan sejajar atau setidaknya Islam dapat mengimbangi posisinya dalam arus keganasan globalisasi yang terjadi saat ini.
Sebagai umat islam secara terang-terangan menunjukkan ketakutan dan kekhawatiran dalam merespon setiap pemikiran dan aliran baru yang merambah dunia islam, baik di bidang ekonomi, politik dan lain-lain, yang berasal dari Timur maupun Barat. Dari kekhawatiran tersebut, mereka kemudian cendrung bersifat resisten demi melindungi nilai-nilai luhur agama dan identitas umat islam dari pengaruh politik negatif berbagai pemikiran dan aliran baru. Bahkan sampai tingkat tertentu, mereka berkeyakinan bahwa semua itu merupakan sebuah perang atau konspirasi terencana untuk menghancurkan islam dan identitas kaum muslimin.
Sementara pada saat yang sama, kita melihat sebagian umat islam yang lain cendrung menerima apa yang datang dari Timur maupun dari Barat tanpa reserve. Mereka mengelu-elukan hal itu dan mengecam orang-orang yang menolaknya sebagai kelompok yang bodoh, konservatif, dan terbelakang. Menurut pandangan mereka, segala sesuatu yang datang dari negara-negara maju merupakan faktor yang menjamin terselenggaranya kemajuan dan perkembangan[5].
Namun untuk memposisikan Islam dalam tantangan arus global tersebut sejatinya umat islam tidak terjebak dan terburu-buru dalam merespon. Sebagaimana tercermin dari dua kelompok umat islam di atas, yang kecendrungannya menerima dan menolak secara mutlak setiap pemikiran dan aliran yang timbul di Timur dan di Barat.
Memang umat islam dituntut untuk bersikap, tapi dengan kewaspadaan yang kuat, dalam artian tidak sertamerta menutup setiap yang dibawa oleh aliran-aliran yang datang dari Timur dan barat, serta tidak membuka pintu lebar-lebar terhadap kemajuan yang dibawa oleh arus globalisasi tanpa menyaring terlebih dahulu.
Dalam memandang persoalan tersebut, umat islam harus lebih kritis dengan menelaah setiap persoalan yang berkembang dari segala sisinya, bukan malah tergesa-gesa mendukung atau menolak arus baru yang datang tanpa disetai kesadaran yang utuh. Oleh karena itu Mahmud Hamdi Zaqzuq memberikan catatan penting yang harus digaris-bawahi dengan tegas. Pertama, bahwa islam sebagai agama – bukan sebatas aliran pemikiran atau fenomena temporal belaka – seharusnya tidakperlu mencemaskan aliran-aliran pemikiran baru dari luar, kareana ia memiliki basis sejarah yang kokoh  dan landasan kuat, yang tidak dimiliki oleh aliran-aliran baru yang bermunculan. Kedua, harus disadari bahwa globalisasi merupakan suatu kenyataan yang tak mungkin ditolak. pada mulanya, ia merambah lewat jalur ekonomi, kemudian melebar ke jalur politik dan budaya, sehingga akhirnya benar-benar menjelma menjadi sebuah fenomena tak terpungkiri yang muncul di hadapan kita. Ketiga, kita tak bisa terus berpura-pura tidak tahu bahwa kita hidup bersama komunitas-komunitas lain di dunia. Saat ini kita telah berada di era revolusi komunikasi dan informasi, revolusi, tekhnologi serta era penuh keterbukaan yang tak mungkin menyediakan peluang untuk mengisolasi diri kita[6].
Globalisasi merupakan fenomena yang tak terbantahkan kedatangannya. Jika umat islam menutup diri dan acuh tak acuh sama halnya dengan mengggali kuburan untuk kematiannya sendiri, sedangkan membuka diri tanpa adanya filterisasi terhadap kedatangannya sama halnya menjelma manusia robot yang dikontrol dan dikendalikan oleh kekuatan tekhnologi. Untuk tidak terjebak pada keduanya, umat islam harus bersikap kritis terhadap perkembangan yang dibawa oleh globalisasi.
Sejak zaman dahulu, umat islam telah mengambil hikmah dari peradaban-peradaban lain, ketika mereka membangun tatanan peradabannya. Dalam konteks ini, seorang filosof muslim terkemuka, Ibn Rusyd, mengatakan bahwa syariat telah mengajarkan kita agar mebaca literatur-literatur klasik. Dan secara otomatis ajaran ini tentu mengandung anjurkan kita untuk membaca literatur baru di kemudian hari. Ibn Rusyd juga meneguhkan dengan untkapannya, “kita perlu menelaah apa yang diucapkan oleh orang lain dan apa yang mereka tulis dalam literatur-literatur mereka. Jika ada yang selaras dengan kebenaran, maka harus diterima dengan senang hati. Tetapi, jika ada yang bertentangan dengan kebenaran, maka kita harus berhati-hati dan menghindarinya.”[7]
Dengan begitu secara otomatis Ibn Rusyd mengiinkan umat islam untuk mengkritisi segala yang ditimbulkan oleh globalisasi, termasuk kebudayaan-kebudayaan lain. Tentu dengan memfungsikan akal dan fikiran, sehingga dengan masuknya kebudayaan modern kita tidak gagap, kita bisa mengapresiasi dengan baik. Sebab Islam sebagai agama yang diturunkan untuk mewujudkan kemaslahatan umat, tidak mungkin rasanya menolak secara membabi-buta suatu kebudayaan yang mengandung manfaat bagi umat manusia. Dengan penyikapan yang kritis ini, kita dalam satu sisi kita tetap bisa menjaga identitas kebudayaan sendiri, dan di sisi lain kita tidak terpinggirkan dari perkembangan zaman dan kebudayaan yang hidup di dalamnya.
c.    Menjaga eksistensi; posisi dan sikap Islam terhadap Globalisasi
Banyak kalangan bingung memahami Islam dan Muslim. Pemimpin kaum Muslim mengatakan bahwa Islam adalah agama damai dan adil; namun Osama Bin Laden dan teroris Muslim lainnya secara global membantai non-Muslim maupun Muslim. Presiden Goerge W Bush menyebut Islam sebagai agama damai; penginjil Franklin Graham memandang Islam sebagai agama setan. Samuel Huntington, profesor ternama dari Harvad dan penulis The Clash of Civilizations menulis “Islam berlumur darah di luar dan dalam”. Tetapi sebagaimana dikemukakan presiden Barrack Obama “Islam telah menunjukkan lewat kata-kata dan perbuatan tentang peluang toleransi beragama dan kemitraan ras”[8].
Satu paragrap diatas menunjukkan realitas multi wajah Islam dan Muslim dewasa ini. Di sisi lain, makna implisit yang terkandung dalam satu paragrap diatas diatas adalah bahwasanya kehidupan beragama kita (Islam) tengah berada di bawah bayang-bayang globalisasi. Ketergantungan hidup terhadap globalisasi, pada gilirannya akan berpengaruh terhadap “cara pandang” (paradigma) beragama kita. Lalu muncul pertanyaan, sejauh mana Islam dengan ajaran-ajaran agamanya mampu bertahan di tengah kehidupan global yang modern? Di tengah kuatnya arus skularisasi?
Bila merujuk pada anasir-anasir para sosiolog bahwasanya agama akan sulit untuk bertahan di abad dua puluh satu, cukup membuat risau masyarakat beragama. Lihat saja penggalan kalimat terkenal “agama adalah candu” yang dianggap menjadi saripati konsepsi Marxis tentang gejala keagamaan. Ungkapan yang sama dapat kita temukan dalam tulisan-tulisan Kant, Herder, Feuerbach, Bruno Bauer, juga Hencrich Heine[9].       
Meski demikian, sampai hari ini; hari dimana kita hidup di abad dua puluh satu, menunjukkan bahwa keberadaan agama-agama khususnya Islam masih menampakkan eksistensinya. Tidak berniat menisbikan ramalan sosiolog diatas, tapi fakta statistikal membeberkan bahwa Islam adalah agama dengan penganut terbesar di dunia hari ini. Dan porsi terbesar dari 1,5 miliyar warga muslim dunia bukanlah bangsa Arab, melainkan Asia atau Afrika[10]. Fakta ini menunjukkan bahwa telah terjadi imgirasi besar-besaran umat Islam bahkan hingga Eropa dan Amerika.
Dalam kondisi yang demikian, untuk menjaga eksistensinya di era globalisasi Islam harus mampu menemukan posisi yang strategis dan memberikan sikap yang tegas terhadap banjir bandang globalisasi. Sikap yang bisa diambil oleh Islam dalam memandang globalisasi adalah mendukung, menolak, atau kompromi.
Sikap mendukung mesti diambil Islam bila Globalisasi yang dalam banyak tafsir lebih dilihat membawa dampak negativ, bila dalam perjalanannya juga mengusung semangat perdamaian, toleransi beragama, keadilan, dan sebagainya. Tidak ada alasan bagi Islam untuk menolak spirit-spirit kehidupan yang demikian karena secara postulat keagamaan, Islam juga mengajarkan hal demikian. Sikap menolak Islam akan terjadi bila globalisasi memberikan dampak “tidak sehat” atas kehidupan manusia; mengusung semanagat skularisasi misalnya, dimana hal ini jelas bertentangan dengan Islam. Yang terakhir adalah sikap kompromi, jalan alternatif ini bisa diambil Islam bila tidak mengambil dua pilihan diatas. Sikap kompromi muncul karena keagamaan dann peradaban manausia berinteraksi dengan begitu intens dan kontinou dalam dunia global, sehingga Islam tidak bisa menutup mata dari kehadiran-kehadiran pengaruh kekuatan luar. Sikap kompromi bukan berarti tunduk terhadap pengaruh globalisasi sehingga Islam sekiranya perlu untuk mengambil posisi sebagai Counter Hegemoni kekuatan globalisasi. Globalisasi mampu bermetamorfosis lebih cepat dan memiliki kekuatan yang lebih tinggi, sehingga melawan globalisasi (bila pun harus dilawan) tidak bisa dengan pola konfrontasi total, karena pada akhirnya Islam akan terbawa dalam permainan globalisasi. Islam harus memiliki opsi cerdas untuk menyelamatkan eksistensinya.      














Penutup
Di abad dua puluh satu ini, kehidupan manusia seakan tidak berjarak dan terus menerus melakukan interaksi yang intensif secara global. Fakta ini mengantarkan manusia dalam meraih sederet perubahan sosial yang banyak dipengaruhi oleh proses globalisasi. Di banyak bidang termasuk agama, pengaruh globalisasi begitu kental.
Ada pengaruh yang baik dan juga pengaruh yang kurang baik, dan dalam keadaan ambiguitas yang demikian kehadiran agama dengan spirit keagamaan dan dengan mengusung norma-norma serta nilai-nilai agama begitu dibutuhkan denagn maksud agar kehidupan sosial manusia dapat bertahan dalam koridor-koridor yang telah di gariskan Tuhan melalui firmannya dalam kitab suci agama-agama.
Islam adalah salah satu agama yang masih eksis dan begitu besar penganut dan pengaruhnya dalam kehidupan global dewasa ini. Islam harus mampu mencipatakan “Islamisasi Peradaban”, dengan meraih kemajuan di bidnag ilmu pengetahuan. Dan tidak meciptakan “Islamofobia” yang hadir dengan wajah fundamentalis nan ektrem yang justru akan memojokkan posisi Islam di era ini. Dengan begitu, keyakinan akan eksistensi Islam sebagai agama hingga akhir zaman meski dalam fase hidup yang telah memasuki era yang mutakhir, akan terus tertanam dalam benak masyarakat dunia Muslim.













Daftar Bacaan
Arifullah. Moh, 2007, Rekonstruksi Citra Islam di Tengah Ortodoksi Islam dan perkembangan Sains Kontemporer, Jakarta : Gaung Persada press
Esposito. Jhon L, 2010, Masa Depan Islam : Antara Tantangan Kemajmukan dan Benturan Dengan Barat, Bandung : Mizan Pustaka
Kartanegara. Mulyadhi (Ed), 2003, Pemikiran Islam Kontemporer, Yogyakarta :Jendela
Lowy. Michael, 2003, Teologi Pembebasan, Yogyakarta : INSIST Press
Zaqzuq. Mahmud Hamdi, 2004, Reposisi Islam di Era Globalisasi, Yogyakarta : Pustaka Pesantren
Piliang. Yasraf Amir, 2011, Bayang-Bayang Tuhan Agama dan Imajinasi, Yogyakarta : Mizan Publika
Pribadi. Airlangga dan Yudhie Haryono, 2002, Post Islam Liberal, Jakarta : PT Gugus Press


[1]Pengantar Redaksi dalam buku Mahmud, Hamdi Zaqauq. 2001. Reposisi Islam di Era Globalisasi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, hlm ; V 
[2]Ibid, hlm : VI
[3]Dr. Mulyadhi Kartanegara sebuah pengantar dalam “ Rekonstruksi Citra Islam di Tengah Ortodoksi Islam dan Perkembangan Sains Kontemporer,” (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007)  cet ke-1. hlm : XII
[4]Erik Sabti Rahmawati dan Hadziq M. Khalil dalam “Pemikiran Islam Kontemporer” (ed: A. Khudori Soleh) Yogyakarta: 2003. Penerbit Jendela. Cet 1. hlm : 50
[5]Mahmud Hamid zaqzuq, Ibid, hlm 3
[6]Ibid, hlm 4
[7]Ibid, hlm 11
[8]Jhon, L Esposito. 2010. Masa Depan Islam Antara tantangan Kemajmukan dan Benturan Dengan Barat. Bandung : Mizan Pustaka. hlm ; 31
[9] Michael, Lowy. 2003. Teologi Pembebasan. Yogyakarta : insist press, hlm : 1-2
[10]Op-cit. hlm : 33