Pendahuluan
“Tidak
ada manusia yang stagnan” demikian isyarat yang ditampakkan oleh sosiolog
Auguste Comte, Talcott Parsons, juga Charles Darwin. Ketiganya mengisyaratkan
terjadinya pergerakan yang dialami manusia yang membawa pada sebuah perubahan
sosial. Bagi Parsons perubahan sosial tersebut merupakan “gerak dasar’ bagi
setiap manusia (masyarakat), dan merupakan seleksi alam bagi Darwin, dan arus
perubahan ini akan terus berjalan karena merupakan hukum evolusi sosial-yang
tidak dapat dihentikan-sebagaimana diteorikan oleh Comte.
Seturut
perputaran waktu, spektrum perubahan yang terdapat di masyarakat semakin
dinamis. namun yang mesti diwaspadai, laju perubahan tidak selalu mengarah pada
perubahan yang positive, namun cenderung negative. Hal ini dipengaruhi oleh
banyak factor, seperti factor geografis, politik, ekonomi, agama, dan
perkembangan zaman yang membayangi kehidupan sosial manusia.
Hari
ini kehidupan manusia telah sampai pada sebuah era yang menghendaki hilangnya
batasan-batasan diantara manusia. Sebuah zaman yang kita kenal sebagai era
Globalisasi. Globalisasi menjadi klimaks (bukan antiklimaks, karena mungkin
akan ada fase selanjutnya) dari fase
perkembangan peradaban manusia. Sebuah era yang ditandai oleh banyak
penemuan-penemuan baru diberbagai bidang, dan telah dianggap membawa manusia ke
perubahan peradaban yang begitu fantastic.
Globalisasi
membawa visi membangun kehidupan yang modern, yang akan memberikan kemudahan
dalam kelangsungan hidup manusia. Secara praktis, manusia dibikin mudah oleh
temuan modernitas; menciptakan kemungkinan bagi perbaikan taraf hidup manusia,
mengangkat penderitaan fisik, dan meringankan beban berat manusia. Era ini
(baca: Globalisasi) telah menghilangkan sekat pemisah bagi manusia disegala
penjuru dunia, dimana setiap individu dapat mengakses secara mudah perkembagan
dan penemuan ilmu pengetahuan yang bergerak cepat dari hari ke hari[1].
Arus
Globalisasi disertai juga oleh perubahan sosial yang begitu compleks.
Komplekstias perubahan tersebut meliputi (hampir) seluruh dimensi kehidupan
manusia. Tidak hanya pada dimensi ekonomi-politik (yang merupakan pintu masuk
Globalisasi) tapi juga menyerang sisi kebudayaan suatu Negara tak terkecuali
juga sisi keagamaan (religiousitas) masyarakat kita. Perubahan social yang
begitu “dramatis” telah melanda kehidupan beragama kita dan merupakan persoalan
baru dan tantangan tersendiri bagi sebuah Agama yang masih eksis di
tengah-tengah kehidupan yang modern nan global.
Salah
satu persoalan krusial sebagai dampak proses gloobalisasi yang terkait dengan
kehidupan keagamaan adalah semakin menipisnya ruang “religousitas” dalam
kehidupan manusia. Temuan-temuan empiric dan perkembangan pengetahuan
menghadapkan kepada manusia (beragama) sebuah realitas akan kekuasaan manusia
di muka semesta ini. Hal-hal yang seblumnya dianggap sebagai “misteri Tuhan” satu
persatu, telah jatuh ke tangan manusia melalui eksperimentasi yang mereka
lakukan. Maka tak ayal agama pun semakin kehilangan daya signifikansi dan
perannya di tengah kehidupan manusia[2].
Dan masih ada banyak permasalahan lagi yang timbul karena dampak proses
Globalisasi. Hanya sekedar menyebutkan; ada permasalahan “dehumanisasi’ dalam
bidang social, terbukanya pola “pasar bebas” dalam bidang ekonomi, tersebarnya
praktik “demokrasi liberal” dalam bidang politik, dan ancaman lunturnya “kearifan
local” dalam bidang kebudayaan. Tapi makalah ini tidak akan mengeksplor semua
permasalahan-permasalahan tersebut, tapi akan lebih terkonsentrasi pada
persoalan keagamaan.
Tantangan
keagamaan dewasa ini, terutama banyak mengarah kepada agama Islam yang
merupakan agama dengan jumlah penganut terbanyak di dunia. Juga karena adanya
persilangan Idology dan Paradigma dalam mmelihat muatan-muatan globalisasi yang
saat ini tengah didominasi oleh peradaban Barat. Perselisihan antara Islam
dengan Barat juga menjadi bagian yang telah memberikan warna tersendiri dalam
era globalisasi.
Substansi
penulisan makalah ini akan banyak berbicara seputar islam dan globalisasi. Dalam
bab pembahasan, akan dibahas seputar definisi globalisasi secara umum, dan
secara khusus akan dilihat dari perspektif Islam. Juga tentang
benturan-benturan Islam dengan Barat (sebagai peradaban yang lebih dominan),
dan penulis mencoba melihat posisi (reposisi) Islam, karena ini akan sangat
berkaitan dengan eksistensi Islam di era Globalisasi.
Pembahasan
“Eksistensi Islam di Era Globalisasi”
a.
Pra-wacana
Globalisasi yang melanda dunia tidak
hanya pada satu bidang saja, tetapi terdapat pada berbagai bidang. Seperti politik,
ekonomi, kebudayaan, dan agama. Globalisasi yang terjadi di
berbagai bidang tentu saja akan memberi pengaruh dan membawa perubahan bagi
dunia di masa yang akan datang.
Dalam era globalisasi saat ini, tentu akan terdapat
perbedaan-perbedaan dalam peradaban. Perbedaan tersebut kadangkala dapat memicu
terjadinya pertarungan. Namun, ada kalanya pertarungan peradaban tidak perlu
dilakukan. Terlebih jika peradaban yang ada dapat hidup berdampingan,
terjadinya dialog, dan saling memberi. Tetapi, tetap saja, kita sebagai umat muslim
tidak boleh melupakan agenda besar dibalik globalisasi.
Pertarungan yang terjadi dapat berupa pertarunga ideology, dan perebutan
pengaruh antara antara Islam dan Globalisasi. Globalisasi direpresentasikan
melalui perdaban Barat dengan spirit modernitasnya, yang dalam banyak wilayah
tidak sejalan dengan prinsip Islam. Sehingga dalam banyak perjalanan
globalisasi, Islam kerap berbenturan dan atau bersilang pendapat dengan Barat. Dalam
keadaan seperti ini Islam harus mampu menemukan jati dirinya ditengah menguatnya
arus globalisasi yang mengancam kepunahan agama, tentunya agar Islam mampu
bertahan hingga akhir zaman.
b.
Benturan Islam dengan Barat
Benturan Islam dan Barat (globalisasi)
merupakan isu yang selalu hangat diperbincangkan. Dengan latar belakang budaya dan ideologi
yang khas di antara keduanya. Dan disinalah akan dikupas secara mendalam apakah
keduanya bisa berjalan secara harmonis, bagaimana globalisasi dengan segala
kekuatannya dan Islam yang memiliki setting dan alasan tersendiri yang berbeda
keberadaannya. Hal ini disebabkan karena sementara agama bertumpu pada apa yang
disebut Rodulf Otto the Holy atau the sacred dan bersifat holistik,
sedangkan globalisasi dengan segala prangkatnya yang bertumpu pada pandangan
dunia sekuler yang justru menyisihkan segala bentuk sakralitas.[3]
Islam adalah
kekuatan dinamis masyarakat muslim yang mengendalikan segala aspek kehidupan,
mulai dari cara berpakaian, pergaulan, budaya, politik, keilmuan dan
seterusnya. Kekuatan dinamis itu akan terus ada sekaligus menjadi ciri khas
bagi mereka. Namun, beberapa persoalan penting juga muncul bersamaan dengan
perkembangan situasii
dan zaman[4].
Sebagaimana pada era globalisasi ini, dimana muncul ketegangan baru antara
Islam dengan Barat. Keduanya seolah berhadapan sebagai lawan yang saling
menghancurkan. Apakah demikian? Nah, disinilah kita dituntut untuk mengetahui
apakah diantara keduanya bisa berjalan sejajar atau setidaknya Islam dapat
mengimbangi posisinya dalam arus keganasan globalisasi yang terjadi saat ini.
Sebagai umat
islam secara terang-terangan menunjukkan ketakutan dan kekhawatiran dalam
merespon setiap pemikiran dan aliran baru yang merambah dunia islam, baik di
bidang ekonomi, politik dan lain-lain, yang berasal dari Timur maupun Barat.
Dari kekhawatiran tersebut, mereka kemudian cendrung bersifat resisten demi
melindungi nilai-nilai luhur agama dan identitas umat islam dari pengaruh
politik negatif berbagai pemikiran dan aliran baru. Bahkan sampai tingkat
tertentu, mereka berkeyakinan bahwa semua itu merupakan sebuah perang atau
konspirasi terencana untuk menghancurkan islam dan identitas kaum muslimin.
Sementara pada
saat yang sama, kita melihat sebagian umat islam yang lain cendrung menerima
apa yang datang dari Timur maupun dari Barat tanpa reserve. Mereka mengelu-elukan hal itu dan mengecam orang-orang yang
menolaknya sebagai kelompok yang bodoh, konservatif, dan terbelakang. Menurut
pandangan mereka, segala sesuatu yang datang dari negara-negara maju merupakan
faktor yang menjamin terselenggaranya kemajuan dan perkembangan[5].
Namun untuk
memposisikan Islam dalam tantangan arus global tersebut sejatinya umat islam
tidak terjebak dan terburu-buru dalam merespon. Sebagaimana tercermin dari dua
kelompok umat islam di atas, yang kecendrungannya menerima dan menolak secara mutlak
setiap pemikiran dan aliran yang timbul di Timur dan di Barat.
Memang umat
islam dituntut untuk bersikap, tapi dengan kewaspadaan yang kuat, dalam artian
tidak sertamerta menutup setiap yang dibawa oleh aliran-aliran yang datang dari
Timur dan barat, serta tidak membuka pintu lebar-lebar terhadap kemajuan yang
dibawa oleh arus globalisasi tanpa menyaring terlebih dahulu.
Dalam memandang
persoalan tersebut, umat islam harus lebih kritis dengan menelaah setiap
persoalan yang berkembang dari segala sisinya, bukan malah tergesa-gesa
mendukung atau menolak arus baru yang datang tanpa disetai kesadaran yang utuh.
Oleh karena itu Mahmud Hamdi Zaqzuq memberikan catatan penting yang harus
digaris-bawahi dengan tegas. Pertama, bahwa
islam sebagai agama – bukan sebatas aliran pemikiran atau fenomena temporal
belaka – seharusnya tidakperlu mencemaskan aliran-aliran pemikiran baru dari
luar, kareana ia memiliki basis sejarah yang kokoh dan landasan kuat, yang tidak dimiliki oleh
aliran-aliran baru yang bermunculan. Kedua,
harus disadari bahwa globalisasi
merupakan suatu kenyataan yang tak mungkin ditolak. pada mulanya, ia merambah
lewat jalur ekonomi, kemudian melebar ke jalur politik dan budaya, sehingga
akhirnya benar-benar menjelma menjadi sebuah fenomena tak terpungkiri yang
muncul di hadapan kita. Ketiga, kita
tak bisa terus berpura-pura tidak tahu bahwa kita hidup bersama
komunitas-komunitas lain di dunia. Saat ini kita telah berada di era revolusi
komunikasi dan informasi, revolusi, tekhnologi serta era penuh keterbukaan yang
tak mungkin menyediakan peluang untuk mengisolasi diri kita[6].
Globalisasi
merupakan fenomena yang tak terbantahkan kedatangannya. Jika umat islam menutup
diri dan acuh tak acuh sama halnya dengan mengggali kuburan untuk kematiannya
sendiri, sedangkan membuka diri tanpa adanya filterisasi terhadap kedatangannya
sama halnya menjelma manusia robot yang dikontrol dan dikendalikan oleh
kekuatan tekhnologi. Untuk tidak terjebak pada keduanya, umat islam harus
bersikap kritis terhadap perkembangan yang dibawa oleh globalisasi.
Sejak zaman
dahulu, umat islam telah mengambil hikmah dari peradaban-peradaban lain, ketika
mereka membangun tatanan peradabannya. Dalam konteks ini, seorang filosof
muslim terkemuka, Ibn Rusyd, mengatakan bahwa syariat telah mengajarkan kita
agar mebaca literatur-literatur klasik. Dan secara otomatis ajaran ini tentu
mengandung anjurkan kita untuk membaca literatur baru di kemudian hari. Ibn
Rusyd juga meneguhkan dengan untkapannya, “kita perlu menelaah apa yang
diucapkan oleh orang lain dan apa yang mereka tulis dalam literatur-literatur
mereka. Jika ada yang selaras dengan kebenaran, maka harus diterima dengan
senang hati. Tetapi, jika ada yang bertentangan dengan kebenaran, maka kita
harus berhati-hati dan menghindarinya.”[7]
Dengan begitu secara otomatis Ibn Rusyd mengiinkan
umat islam untuk mengkritisi segala yang ditimbulkan oleh globalisasi, termasuk
kebudayaan-kebudayaan lain. Tentu dengan memfungsikan akal dan fikiran,
sehingga dengan masuknya kebudayaan modern kita tidak gagap, kita bisa
mengapresiasi dengan baik. Sebab Islam sebagai agama yang diturunkan untuk
mewujudkan kemaslahatan umat, tidak mungkin rasanya menolak secara membabi-buta
suatu kebudayaan yang mengandung manfaat bagi umat manusia. Dengan penyikapan yang
kritis ini, kita dalam satu sisi kita tetap bisa menjaga identitas kebudayaan
sendiri, dan di sisi lain kita tidak terpinggirkan dari perkembangan zaman dan
kebudayaan yang hidup di dalamnya.
c.
Menjaga eksistensi; posisi dan sikap Islam terhadap
Globalisasi
Banyak
kalangan bingung memahami Islam dan Muslim. Pemimpin kaum Muslim mengatakan
bahwa Islam adalah agama damai dan adil; namun Osama Bin Laden dan teroris
Muslim lainnya secara global membantai non-Muslim maupun Muslim. Presiden
Goerge W Bush menyebut Islam sebagai agama damai; penginjil Franklin Graham
memandang Islam sebagai agama setan. Samuel Huntington, profesor ternama dari
Harvad dan penulis The Clash of Civilizations menulis “Islam berlumur darah di
luar dan dalam”. Tetapi sebagaimana dikemukakan presiden Barrack Obama “Islam
telah menunjukkan lewat kata-kata dan perbuatan tentang peluang toleransi
beragama dan kemitraan ras”[8].
Satu
paragrap diatas menunjukkan realitas multi wajah Islam dan Muslim dewasa ini.
Di sisi lain, makna implisit yang terkandung dalam satu paragrap diatas diatas
adalah bahwasanya kehidupan beragama kita (Islam) tengah berada di bawah
bayang-bayang globalisasi. Ketergantungan hidup terhadap globalisasi, pada
gilirannya akan berpengaruh terhadap “cara pandang” (paradigma) beragama kita. Lalu
muncul pertanyaan, sejauh mana Islam dengan ajaran-ajaran agamanya mampu
bertahan di tengah kehidupan global yang modern? Di tengah kuatnya arus
skularisasi?
Bila
merujuk pada anasir-anasir para sosiolog bahwasanya agama akan sulit untuk
bertahan di abad dua puluh satu, cukup membuat risau masyarakat beragama. Lihat
saja penggalan kalimat terkenal “agama adalah candu” yang dianggap menjadi
saripati konsepsi Marxis tentang gejala keagamaan. Ungkapan yang sama dapat
kita temukan dalam tulisan-tulisan Kant, Herder, Feuerbach, Bruno Bauer, juga
Hencrich Heine[9].
Meski
demikian, sampai hari ini; hari dimana kita hidup di abad dua puluh satu,
menunjukkan bahwa keberadaan agama-agama khususnya Islam masih menampakkan
eksistensinya. Tidak berniat menisbikan ramalan sosiolog diatas, tapi fakta
statistikal membeberkan bahwa Islam adalah agama dengan penganut terbesar di
dunia hari ini. Dan porsi terbesar dari 1,5 miliyar warga muslim dunia bukanlah
bangsa Arab, melainkan Asia atau Afrika[10].
Fakta ini menunjukkan bahwa telah terjadi imgirasi besar-besaran umat Islam
bahkan hingga Eropa dan Amerika.
Dalam
kondisi yang demikian, untuk menjaga eksistensinya di era globalisasi Islam
harus mampu menemukan posisi yang strategis dan memberikan sikap yang tegas
terhadap banjir bandang globalisasi. Sikap yang bisa diambil oleh Islam dalam
memandang globalisasi adalah mendukung,
menolak, atau kompromi.
Sikap
mendukung mesti diambil Islam bila Globalisasi yang dalam banyak tafsir lebih
dilihat membawa dampak negativ, bila dalam perjalanannya juga mengusung
semangat perdamaian, toleransi beragama, keadilan, dan sebagainya. Tidak ada alasan
bagi Islam untuk menolak spirit-spirit kehidupan yang demikian karena secara
postulat keagamaan, Islam juga mengajarkan hal demikian. Sikap menolak Islam
akan terjadi bila globalisasi memberikan dampak “tidak sehat” atas kehidupan
manusia; mengusung semanagat skularisasi misalnya, dimana hal ini jelas bertentangan
dengan Islam. Yang terakhir adalah sikap kompromi, jalan alternatif ini bisa
diambil Islam bila tidak mengambil dua pilihan diatas. Sikap kompromi muncul
karena keagamaan dann peradaban manausia berinteraksi dengan begitu intens dan
kontinou dalam dunia global, sehingga Islam tidak bisa menutup mata dari
kehadiran-kehadiran pengaruh kekuatan luar. Sikap kompromi bukan berarti tunduk
terhadap pengaruh globalisasi sehingga Islam sekiranya perlu untuk mengambil
posisi sebagai Counter Hegemoni
kekuatan globalisasi. Globalisasi mampu bermetamorfosis lebih cepat dan memiliki
kekuatan yang lebih tinggi, sehingga melawan globalisasi (bila pun harus
dilawan) tidak bisa dengan pola konfrontasi total, karena pada akhirnya Islam
akan terbawa dalam permainan globalisasi. Islam harus memiliki opsi cerdas
untuk menyelamatkan eksistensinya.
Penutup
Di
abad dua puluh satu ini, kehidupan manusia seakan tidak berjarak dan terus
menerus melakukan interaksi yang intensif secara global. Fakta ini mengantarkan
manusia dalam meraih sederet perubahan sosial yang banyak dipengaruhi oleh
proses globalisasi. Di banyak bidang termasuk agama, pengaruh globalisasi
begitu kental.
Ada
pengaruh yang baik dan juga pengaruh yang kurang baik, dan dalam keadaan
ambiguitas yang demikian kehadiran agama dengan spirit keagamaan dan dengan
mengusung norma-norma serta nilai-nilai agama begitu dibutuhkan denagn maksud
agar kehidupan sosial manusia dapat bertahan dalam koridor-koridor yang telah
di gariskan Tuhan melalui firmannya dalam kitab suci agama-agama.
Islam
adalah salah satu agama yang masih eksis dan begitu besar penganut dan
pengaruhnya dalam kehidupan global dewasa ini. Islam harus mampu mencipatakan
“Islamisasi Peradaban”, dengan meraih kemajuan di bidnag ilmu pengetahuan. Dan
tidak meciptakan “Islamofobia” yang hadir dengan wajah fundamentalis nan ektrem
yang justru akan memojokkan posisi Islam di era ini. Dengan begitu, keyakinan
akan eksistensi Islam sebagai agama hingga akhir zaman meski dalam fase hidup
yang telah memasuki era yang mutakhir, akan terus tertanam dalam benak masyarakat
dunia Muslim.
Daftar Bacaan
Arifullah. Moh,
2007, Rekonstruksi Citra Islam di Tengah Ortodoksi Islam dan
perkembangan Sains Kontemporer, Jakarta : Gaung Persada press
Esposito. Jhon L,
2010, Masa Depan Islam : Antara Tantangan
Kemajmukan dan Benturan Dengan Barat, Bandung : Mizan Pustaka
Kartanegara.
Mulyadhi (Ed), 2003, Pemikiran Islam
Kontemporer, Yogyakarta :Jendela
Lowy. Michael, 2003, Teologi
Pembebasan, Yogyakarta : INSIST Press
Zaqzuq. Mahmud
Hamdi, 2004, Reposisi Islam di Era Globalisasi,
Yogyakarta : Pustaka Pesantren
Piliang. Yasraf
Amir, 2011, Bayang-Bayang Tuhan Agama dan
Imajinasi, Yogyakarta : Mizan Publika
Pribadi. Airlangga
dan Yudhie Haryono, 2002, Post Islam
Liberal, Jakarta : PT Gugus Press
[1]Pengantar Redaksi
dalam buku Mahmud, Hamdi Zaqauq. 2001. Reposisi
Islam di Era Globalisasi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, hlm ; V
[3]Dr. Mulyadhi
Kartanegara sebuah pengantar dalam “
Rekonstruksi Citra Islam di Tengah Ortodoksi Islam dan Perkembangan Sains
Kontemporer,” (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007) cet ke-1. hlm : XII
[4]Erik Sabti Rahmawati
dan Hadziq M. Khalil dalam “Pemikiran
Islam Kontemporer” (ed: A. Khudori Soleh) Yogyakarta: 2003. Penerbit
Jendela. Cet 1. hlm : 50
[8]Jhon, L
Esposito. 2010. Masa Depan Islam Antara tantangan Kemajmukan dan Benturan
Dengan Barat. Bandung : Mizan Pustaka. hlm ; 31