Tuesday, May 22, 2012

Makalah Teori Sosial; Etnometodologi


Pendahuluan
Dalam kehidupan yang sifatnya dinamis ini, manusia sebagai makhluk sosial tidak akan pernah bisa lepas dari individu-individu yang lain. Sehingga mereka akan selalu bersentuhan dengan indvidu lainnya, dengan kelompok individu, bahkan antara kelompok individu dengan kelompok individu yang lain, atau dalam dunia sosial lebih dikenal dengan istilah Interaksi Sosial. Interaksi sosial yang terbangun melahirkan gejala-gejala sosial (fakta sosial) dalam kehidupan masyarakat. Ilmu sosial hadir dengan tujuan untuk membangun pemahaman atas setiap fakta sosial yang terjadi ditengah masyarakat. Pemahaman tersebut dapat ditempuh melalui pengamatan sosial. Pengamatan sosial tidak hanya dilakukan dengan satu cara dan dari satu sudut pandang sosial saja, sehinggan hal ini kemudian melahirkan banyak metodologi yang dapat dipergunakan dalam melakukan pengamatan sosial. Diantara metodologi yang ada salah satunya adalah Etnometodologi.
Pengamatan atas fakta sosial yang dilakukan oleh ahli ilmu sosial dewasa ini masih terklasifikasi dalam dua wilayah objek kajian, yakni pengamatan yang dititikberatkan pada persoalan-persoalan makro, dan pengamatan yang tertuju pada persoalan-persoalan mikro. Emile Durkheim misalnya, adalah salah satu tokoh sosiologi yang menempatkan pengamatannya pada persoalan makrososiologi (struktur sosial dan pranata sosial). Durkheim berangkat dari pemahaman bahwa fakta sosial berada diluar dan bersifat memaksa individu untuk mengikuti struktur dan peranata sosial yang ada. Kemudian adalah Max Weber salah satu tokoh termasyhur dalam dunia sosiologi yang meletakkan pengamatan pada wilayah mikrososiologi seperti Tindakan Sosial. Weber berangkat dari pemahaman bahwa individulah yang membangun struktur sosial, sehingga mengamati persoalan sosial tidak bisa langsung tertuju pada struktur sosial (makrososiologi) yang ada namun harus diawali dengan mengamati tindakan sosial individu (mikrososiologi).
Berbeda dengan kedua tokoh ahli sosiologi diatas, Harold Garfinkel sebagai pencetus teori Etnometodologi melihat fakta sosial sebagai sesuatu yang fundamental dalam kehidupan sosial. Sehingga dalam penggunaannya Etnometodologi tidak terpaku pada hal-hal yang sifatnya makro maupun mikro, namun memusatkan pengamatannya pada interaksi sosial yang dilakukan manusia dalam kesehariannya, salah satunya melalui pengamatan Etnometodologi atas percakapan sehari-sehari yang dilakukan manusia.     
Etnometodologi meletakkan studi mengenai kegiatan manusia sehari-hari atas dasar common sense. Realitas common sense dan eksisitensi sehari-hari manusia merupakan kepentingan praktis dalam kehidupan sosial. kepentingan praktis kemudian dilawankan dengan kepentingan ilmiah (teoritis). Teori ilmiah membangun pemahaman atas realitas sosial melalui penelitian yang sisitematis dan teoritis. Bagi Alferd Schutzs (tokoh sosial yang mempengaruhi Garfinkel dalam melahirkan teori Etnomrtodologi) manusia bergerak bukan berdasarkan teori ilmiah melainkan atas dasar common sense atau kepentingan praktis. Pada wilayah inilah (kepentingan praktis) etnometodologi hadir sebagai alat pengamatan pergerakan keseharian manusia untuk membangun pemahaman utuh atas fakta sosial yang tengah tertebar di masyarakat.
Pembahasan
A.      Pengertian Etnometodologi
Istilah Etnometodologi (ethnomethodolgy) berasal dari bahasa Yunani yang berarti metode, yang digunakan orang dalam menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Etnometodologi pada dasarnya merupakan kumpulan pengetahuan berdasarkan akal sehat dan rangkaian prosedur dan pertimbangan (metode) yang dengannya maasyarakat biasa dapat memahami, mencari tahu, dan bertindak berdasarkan situasi dimana mereka menemukan dirinya sendiri[1].
            Pemahaman lebih mendalam tentang sifat dasar etnometodologi akan bisa didapatkan dengan meneliti upaya pendirinya Harold Garfinkel untuk mendefinisikannya. Sebagaimana Durkheim, Garfinkel menganggap fakta sosial sebagai fenomena sosiologi fundamental. Namun fakta sosial menurut Garfinkel sangat berbeda dari fakta sosial menurut Durkehim. Menurut Durkheim, fakta sosial berada diluar dan memaksa individu. Pandangan ini cenderung melihat aktor dipaksa atau ditentukan oleh struktur dan pranata sosial dan sedikit sekali kemampuannya atau tidak mempunyai kebebasan untuk memuat pertimbangan. Sebaliknya etnometodologi membicarakan obyektivitas fakta sosial sebagai prestasi anggota, sebagai produk aktivitas metodologis anggota. Dengan kata lain etnometodologi memusatkan perhatian pada organisasi organisasi kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, Etnometodologi bukanlah makrosoiologi dalam arti yang dimaksud Durkheim, tetapi bukan juga sebagai mikrososiologi. Sehingga etnometodologi memusatkan perhatian pada aktivitas sehari-hari individu[2]. Etnometodologi memiliki tiga dasar asumsi[3], yakni:
1.      Kehidupan sosial pada dasarnya tidak pasti; namun,
2.      Para pelaku tidak menyadari hal ini, karena
3.      Tanpa mereka ketahui, mereka memiliki kemampuan yang dibutuhkan untuk membuat dunia nampak sebagai tempat yang teratur.
B.  Studi Empiris Etnometodologi
Esensi dari etnometodologi tidak hanya terletak pada pernyataan teoritis, namun pada studi empiris (pengaplikasian). Karena semua pengetahuan teoritis tentang etnometodologi, itu lahir dari studi empiris. Studi empiris etnometodologi terletak pada studi (kajian) mengenai “percakapan” yang dilakukan manusia dalam interaksi sehari-harinya.
Percakapan adalah aktivitas interaksi yang menunjukkan aktivitas yang stabil dan teratur yang merupakan kegiatan yang dapat dianalisis[4]. Analisis Percakapan (conversation analysis) memiliki tujuan untuk memahami secara rinci struktur fundamental interaksi melalui percakapan. Analisis percakapan lebih memusatkan perhatian pada hubungan antara ucapan dalam percakapan ketimbang hubungan antara pembicara dan pendengar.
            Analisis Percakapan merupakan salah satu ranah yang paling berkembang dan paling kaya dalam etnometodologi. Analisis percakapan dianggap sebagai program yang penting dan paling sempurna dari etnometodologi. Praktek ini dibangun oleh Harvey Sack, di pertengahan tahun enam puluhan, dengan menjadikan percakapan sebagai tema utama penelitiannya.
Menurut Zimmerman, tujuan dari analisis percakapan adalah untuk memahami secara mendetail struktur fundamental dari interaksi percakapan. Lebih lanjut Zimmerman, merangkum dasar-dasar analisis percakapan dalam lima premis[5].
Pertama, Analisis percakapan mensyaratkan adanya kumpulan dan analisis data yang mendetail. Data ini meliputi tidak hanya kata-kata tetapi juga keragu-raguan, desah nafas, sedu sedan, gelak tawa, perilaku non verbal dan berbagai aktivitas lain. Semua itu menggambarkan perbuatan percakapan aktor yang terlibat.
Kedua, Bahkan detail percakapan harus dianggap sebagai suatu prestasi. Aspek-aspek percakapan tidak diatur oleh etnometodolog, aspek tadi diatur oleh aktivitas metodis dari para aktor itu sendiri. Ketiga, Interaksi pada umumnya dan percakapan pada khususnya mempunyai sifat-sifat yang stabil dan teratur hingga keberhasilan para aktor akan dilibatkan.
Keempat, Landasan fundamental dari percakapan adalah organisasi yang sequential. Kelima, Keterikatan bidang interaksi percakapan diatur dengan dasar lokal atau dengan bergilir.
Sebagai sebuah metode yang meletakkan studinya pada kegiatan manusia sehari-hari atas dasar commen sense, Etnometodologi melihat realitas common sense dan eksisitensi sehari-hari manusia merupakan kepentingan praktis dalam kehidupan sosial. Dalam melakukan kemampuan-kemampuan praktikalnya (kepentingan praktis) individu berpangkal pada sebauh pemahaman dan atau keyakinan akan fakta yang berdasar pada akal sehat dan kreasi.
Dilengkapi dengan pengetahuan akal sehat dan dengan kepercayaan (pemahaman) akan fakta, karakter teratur dunia, para anggota bergerak maju dan membuat setiap situasi dimana mereka berpartisipasi menjadi masuk akal. Etnometodologi menekankan bahwa setiap situasi sosial itu unik. Kata-kata yang diucapkan adalah indeksial (percakapan indeksial). Artinya bahwa kata-kata itu hanya masuk akal pada kesempatan atau waktu tertentu ketika mereka menggunakannya. Tetapi mereka juga menekankan bahwa para anggota, yang secara tidak disadari terlibat dalam mengidentifikasi keteraturan dan realitas objektif, memandang segala sesuatu secara berbeda. Mereka mengidentifikasi kesamaan suatu kejadian dengan kejadian lain. Mereka memilih dari semua hal yang terjadi disekitar mereka bukti yang mendukung pandangan bahwa hal-hal yang eksis atau yang terjadi adalah tipikal dunia. Bagi mereka, suatu situasi sosial adalah sebuah pelajaran, dan suatu pola dibangun padanya dengan menggunakan pengetahuan akal sehat[6].        
Dengan pengetahuan akal sehat itu pula, jarak-jarak perbedaan persepsi tentang suatu kejadian diisi atau didekatkan dengan cara yang sama oleh pendengar-pendengar yang berbeda untuk meyakinkan diri mereka kembali bahwa sesuatu yang terjadi itu adalah sebagaimana nampaknya, dan merupakan kemampuan praktikal yang dilakuakan individu atas dasar kapasitas kreasi dan akal sehat.  
Penutup
Etnometodologi jelas memiliki cara pandang yang berbeda dengan teori struktural dan interaksionis dalam melihat realita sosial. Sebagaimana dijelaskan diatas, bahwa teori struktural melihat gambaran yang paling signifikan dari kehidupan sosial manusia adalah dalam kekuatan-kekuatan eksternal yang bersifat memaksa individu. Sehingga dalam memahami perilaku sosial harus dibangun pemahaman atas determinasi struktural dalam kehidupan manusia. Sementara bagi kalangan interaksionis, pelaku (individu) ditempatkan sebagai objek perioritas. Sehingga teori ini membangun pemahaman dengan terlebih dahulu memahami tindakan-tindakan sosial individu.
Bagi etnometodologi, minat dan kepentingannya berbeda. Satu-satunya yang dapat dideskripsikan dengan pasti dalam kehidupan sosial adalah semua yang dilakukan individu secara bersama dalam kesehariannya yang berpangkal pada akal dan kreasi. Akahirnya, etnometodologi sampai pada sebuah keyakinan bahwa pendekatan ini mampu menunjukkan kebenaran tentang apa yang individu bangun melalui upaya mereka sendiri.

DAPTAR PUSTAKA
Jones. Pip, Pengantar Teori-Teori Sosial Dari Teori Fungsionalisme Hingga Teori Postmodernisme, 2009, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Ritzer. George dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, 2004, Jakarta : Prenada Media. 



















[1] George Ritzer dan Douglass J Goodman. 2004. Teori Sosiologi Modern. Jakarta : Prenada Media. hlm : 322
[2] Ibid, 322-333
[3] Pip Jones. 2009. Pengantar Teori-Teori Sosial. Jakarta : Yayasan Obor. hlm : 161 
[4] Op-cit, hlm : 327
[5] Ibid, hlm : 327-328
[6] Pip Jones. ibid, : 163 

Sunday, May 13, 2012

Mengurai Perubahan Sosial dalam Masyarakat; definisi, faktor, dan kategori perubahan sosial.


Tidak ada masyarakat yang stagnan” begitu kata Talcott Parsons juga Darwin. Keduanya sama-sama memberikan isyarat bahwa masyarakat akan senantiasa bergerak dan berevolusi secara alamiah untuk melakukan perubahan. Proses perubahan itu menurut Darwin merupakan seleksi alam dan bagi Parsons adalah gerak dasar bagi setiap manusia maupun kelompok masyarakat. Keduanya berpandangan bahwa proses itu tidak dapat dihentikan karena merupakan hukum perkembangan manusia (masyarakat).
Bagi Mac Iver perubahan sosial merupakan perubahan yang mengarah pada terciptanya keseimbangan sosial (equilibrium of social relationship). Kemudian Gillin melihat perubahan sosial sebagai perubahan cara-cara hidup akibat perubahan geografis, budaya, komposisi penduduk, inovasi, ideologi, dan difusi. Ada lagi Samuel Koenic yang melihat perubahan sosial sebagai modifikasi sosial. Dan adalah Selo Soemardjan yang mengartikan perubahan sosial sebagai perubahan lembaga-lembaga kemasyarakatan, yang mempengaruhi sisitem sosial sehingga berpengaruh terhadap nilai-nilai sosial dan tindakan sosial.
Perubahan sosial dapat dilihat dari dua perspektif, yakni evolusi dan revolusi. Seperti telah dijelaskan diawal, perubahan sosial (masyarakat) bisa terjadi dengan cara sukarela mengikuti gerak alam atau evolusi, dan melalui arah perubahan yang dipaksakan yakni dengan cara radikal atau revolusi. Dan kedua pandangan ini, merupakan dua teori yang sampai sekarang masih merupakan teori utama yang selalu dipakai dalam melihat fenomena perubahan sosial dalam masyarakat.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perubahan sosial, diantaranya : 1) faktor ekonomi. Faktor ini lebih melihat pada penggunaan materi sebagi pengukur dari perubahan seseorang. Keadaan seseorang dari miskin menjadi kaya, dapat memberikan perubahan pada pola hidup orang tersebut.2) faktor ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Ilmu pengetahuan mengajarkan manusia beraneka ragam macam kemampuan dalam rangka mencapai perubahan, dan tekhnolgi memberikan banyak tawaran sarana yang dapat dipergunaakan manusia untuk mencapai level perubahan tersebut. 3) faktor geografis. Faktor ini dapat disebabkan oleh adanya bencana alam, seperti gempa dan sebagainya. Hal ini menyebabkan manusia harus berpindah dari tempat awalnya dan beradaptasi lagi dengan sistem baru yang ada ditempat barunya. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya perubahan dalam masyarakat. 4) faktor biologis. Biasanya semakin manusia beranjak umurnya, akan terjadi kelainan genetik yang dapat menyebabkannya menjadi berubah dari sifat dasarnya.
Selain faktor, perubahan sosial juga memiliki beberpa tipe. Diantara tipe-tipe perubahan sosial diantanya yakni, proses sosial, segmentasi, struktural, dan change in gruop. Proses sosial menjadi tipe yang akan selalu dilalui oleh individu maupun masyarakat dalam mencapai suatu perubahan. Segmentasi adalah tipe perubahan sosial yang terjadi di lingkup kecil (seperti perubahan pada keluaraga) karena bersifat sektoral. Kemudia tipe struktural merupakan tipe perubahan yang terjadi pada areal yang lebih luas. Misalnya terjadinya perubahan pada suatu negara akibat dari pergantian kepemimpinan. Dan tipe terakhir yakni tipe change in group. Tipe ini terjadi pada wilayah group atau kelompok, perubahan ini berbentuk in-group dan out-group. In-group adalah tempat dimana seorang individu mengidentifikasi dirinya sebagai anggota, dan out-group diartikan individu sebagi lawan dari in-groupnya.
Perubahan sosial tidak hanya terjadi dan berkaitan dengan nilai-nilai sosial dan norma-noram sosial ataupun sistem-sistem dan struktur-struktur sosial masyarakat. Tapi juga erat kaitannya dengan kebudayaan. Kingsley Davis berpendapat bahwa perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan kebudayaan. Meskipun pendapat ini akhirnya ditentang oleh Koenjaranigrat yang melihat perubahan sosial berbeda dengan perubahan kebudayaan karena adanya perbedaan pengertian mengenai budaya dan perubahan sosial itu sendiri.
Perubahan sosial (di Indonesia misalnya) dilihat sebagai modernisasi, yakni terjadinya transformasi kehidupan tradisional masyarakat dalam ideologi dan organissasi sosialnya ke model yang lebih ekonomis dan politis melalui pola yang lebih terencana (social plan). Modernisasi merupakan pola hidup yang lebih rasional (rasionalistik). Sebagaimana dikatakan giddens, “ modernitas berarti upaya terus-menerus perbaikan kehidupan dan upaya mencapai kemajuan. Tidak seperti latar tradisional, dimana pandangan mengenai sesuatu relatif sama dan tetap, maka dalam dunia modern perubahan, perkembangan, dan perbaikan adalah tujuannya”. Seperti yang dikatakan Cheal, bahwa keyakinan terhadap kemajuan berarti “ meyakini bahwa keadaan esok harus selalu lebih baik daripada hari ini, yang kemudian berarti harus siap mengubah keteraturan yang sudah ada untuk mencapai kemajuan. Dengan kata lain, harus siap dan berani membongkar tradisi”.
Sedikit melihat keterkaitan perubahan sosial dengan agama. Dalam perspektif agama, perubahan sosial akan melalui tiga tahapan; a). Tahap masyarakat pra modern ke modern dan industrial. b). Tahap masyarakat pra agraris ke agraris dan industrial. c). Tahap masyarakat modern ke post-modern. Ditengah perubahan sosial, agama berfungsi sebagai organisme sosial, sebagai wilayah yang dan berperan diluar oragnisme sosial, dan sebagai motif-motif sosial (spritualitas agama) dalam tindakan-tindakan sosial.

Bahan Bacaan
Barry, David. 2003. Pokok-pokok Pikiran Dalam Sosiologi. Jakarta : Raja Grafindo Persada
Jones, Pip. 2009. Pengantar Teori-Teori Sosial Dari Teori Fungsionalisme Hingga Post-Modernisme. Jakarta : Buku Obor
Soekanto, Soerjono. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : RajaGrafindo Persada


Tuesday, May 8, 2012

Perkembangan Study Islam Di Dunia Barat



A. Pengertian Studi Islam
Studi Islam atau Dirosah Islamiyah (barat dikenal dengan istilah Islamic Studies), secara sederhana dapat dikatakan sebagai usaha untuk mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan agama Islam.
Dikalangan para ahli masih terdapat perdebatan tentang Studi Islam (agama). Jika dilihat dari sisi Normativitas, kurang pas rasanya untuk dikatakan sebagai disiplin ilmu, karena normativitas studi Islam agaknya terbebani oleh misi keagamaan yang bersifat subyektif, dan apologis, yang menyebabkan kadar muatan analisis, kritis, metodologis, histories, empiris, terutama dalam menelaah teks-teks atau naskah-naskah keagamaan produk sejarah terdahulu kurang begitu ditonjolkan. Sedangkan bila dilihat dari sisi Historisitas, tampaknya tidaklah salah . Inilah Islam kalau dilihat secara historisitas yakni Islam dalam arti yang dipraktikkan oleh manusia serta tumbuh dan berkembang dalam sejarah kehidupan manusia, maka Islam dapat dikatakan sebagai sebuah disiplin ilmu, yakni ilmu keislaman atau Islam Studies.
B. Sejarah Perkembangan Studi Islam di Dunia Barat
Masa Renaisance (abad pertengahan : 1250-1800 M) adalah masa dimana peradaban Barat menuai kebangkitannya sementara peradaban Islam mengalami stagnasi. Renaisance membawa perubahan baru bagi dunia Barat dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Ekonomi.  Dan perkembangan tersebut banyak dipengaruhi oleh peradaban Islam. Sebagaimana kita ketahui di masa kejayaan Islam, Andalusia (Spanyol) pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah merupakan salah satu tempat yang mengalami kemajuan dalam bidang pendidikan, politik, sosial, dan ekonomi. Terbukti dengan adanya beberapa universitas Islam yang didirikan. Seperti universitas Cordova, Seville, Malaga, Granada, dan Salamanca. Pada waktu itu beberapa tokoh-tokoh Barat datang mengunjungi universitas-uninersitas tersebut untuk memperdalam ilmu mereka. Selama mereka belajar, mereka melakukan penerjemahan ilmu-ilmu karya tokoh-tokoh muslim kedalam bahasa Latin. Hal ini didukung oleh King Frederick H (mantan Kaisar Holy Roman Empire : 1215-1250) yang dipimpin oleh Petrus Venerabilis dengan cara membayar orang Spanyol sebagai penerjemah. Kegiatan ini berpusat di Toledo dan Palemo.
Dan ketika mereka kembali ke negaranya masing-masing, mereka ditantang oleh Paus di Vatikan untuk mendirikan universitas-universitas serupa. Kemudian berdirilah perguruan tinggi-perguruan tinggi disemenanjung Italia, Padua, Florence, Milano, Venezia, disusul oleh Oxford dan Cambridge di Inggris, Sorbone di Francis, dan Tubingen Di Jerman. Setelah berdirinya universitas-universitas diatas, membukakan jalan bagi Barat untuk mengembangkan dunia ilmu pengetahuannya.
Jadi jelaslah, sejarah Berkembanganya Studi Islam di Dunia Barat adalah disebabkan para pelajar barat yang datang ke dunia timur  untuk mengkaji ilmu. Disamping itu juga mereka telah berhasil menterjemahkan karya-karya ilmuan muslim kedalam bahasa latin. Gerakan ini pada akhirnya menimbulkan massa pencerahan dan revolusi industri, yang menyebabkan Eropa maju. Dengan demikian Andalusia merupakan sumber-sumber cahaya bagi Eropa, memberikan kepada benua itu manfaat dari ilmu dan budaya islam selama hampir tiga abad.
C. Perkembangan Studi Islam di dunia Barat
Usaha mempelajari agama Islam tidak hanya terbatas pada kalangan umat muslim semata, namun dilakukan pula oleh orang-orang diluar kalangan islam. Orang-orang inilah yang disebut dengan istilah kaum “Orientalist”. Namun orientasi pembelajaran Islam oleh kedua kalangan ini tentunya berbeda. Studi Islam yang dilakukan oleh kalangan umat muslim bermaksud untuk memahami dan mendalami serta membahas ajaran-ajaran islam yang kemudian dijadikan sebagai pegangan dan pedoman hidup (way of live). Sementara Studi Islam yang dilakukan oleh kalangan orientalist bermaksud untuk mempelajari seluk-beluk ajaran islam dan semata-mata menjadikannya sebagai Ilmu Pengetahuan (Muhaimin dkk : 1994). Hal ini yang membuat Islam lebih dikenal sebagai sains diduia barat (sains islam).
Pada dasarnya Studi Islam dan Sains Islam ada perbedaan dan persamaan. Persamaan studi dan sains terletak pada objek kajiannya. Yakni ilmu pengetahuan. Sedangkan perbedaannya, Studi Islam adalah suatu ilmu pengetahuan yang dirumuskan dari ajaran islam yang dipraktekkan dalam sejarah dan kehidupan manusia. Sedangkan Sains Islam adalah suatu ilmu pengetahuan yang mencakup berbagai pengetahuan modern seperti kedokteran, astronomi, matematika, fisika, dan sebagainya yang dibangun atas arahan nilai-nilai islami. Sains Islam sebagaimana dikemukakan Hussein Nasr adalah sains yang dikembangkan oleh kaum muslimin sejak abad islam ke-2, yang keadaannya sudah tentu merupakan salah satu pencapaian besar dalam peradaban islam. Selama kurang lebih 700 tahun, sejak abad ke-2 hingga ke-9 Masehi, peradaban islam mungkin merupakan peradaban yang paling produktif dibandingkan peradaban manapun jua. Dari Sains Islam inilah membuat orang barat tertarik untuk mempelajari ilmu pengetahuan islam yang sampai terkenal di Eropa. Al hasil, menurut Harun Nasution; salah satu contoh kemajuan orang barat adalah ketika Napoleon melakukan Ekspedisi ke Mesir dengan memperkenalkan ilmu pengetahuan dengan membawa 167 ahli dalam berbagai cabang ilmu. Diapun membawa dua set alat percetakan huruf Latin, Arab, dan Yunani. Ekspedisi itu datang bukan hanya untuk kepentingan militer, tetapi juga untuk kepentingan ilmiah. Untuk kepentingan ilmiah, Napoleon membentuk lembaga ilmiah yang disebut dengan Institut d ‘Egypte yang mempunyai empat bidang ilmu kajian, yaitu ilmu pasti, ilmu kalam, ilmu ekonomi dan politik, serta ilmu sastra dan seni.Pada akhir tahun 1801 Masehi.
Dalam perkembangan studi Islam di dunia Barat, obyek pengkajian dapat digolongkan menjadi dua. Pertama, pengkajian bahasa arab. Studi Islam mensyaratkan kajian intensif mengenai bahasa arab yang berkembang sejak permulaan abad 19, dan melahirkan pakar-pakar bahasa arab di barat seperti A.I. Sylvestre de Sacy (Prancis) dan Johan Jakob Reiske  (Jerman). Kedua, pengkajian teks. Kajian teks hanya dapat dilakukan oleh kalangan-kalangan yang memiliki pengetahuan solid mengenai bahasa arab.

Bahan Bacaan
Muhaimin, Tadjab dan Abd. Mujib. 1994. Dimensi-dimensi Studi Islam. Surabaya: Karya
                 Abditama.



Kemiskinan dan Trend Bunuh Diri di Masyarakat


“Kematian Bukan Untuk Ditangisi. Namun “Sebab” Kematian Itu Yang Harus Diteliti”
(Cak Nun).
Apa yang dikatakan Cak Nun dalam satu baris kalimat syarat makna diatas, saya rasa akan mampu mengubah cara pandang kita dalam menyikapi kematian. Kematian tentunya merupakan sesuatu yang pasti terjadi bagi setiap yang bernafas, dan menangisinya adalah suatu tindakan yang wajar. Namun yang lebih penting dari menangis adalah bagaimana kita dapat mengetahui latar belakang dari kematian tersebut. Karena kematian tidak hanya terjadi atas alasan sakit, sudah tua dan alasan-alasan kematian lainnya yang masih pada tataran biasa. Tapi lebih dari itu ada alasan yang tidak biasa yakni seperti sengaja dibunuh, dan ada pula alasan yang sangat luar biasa yakni sengaja bunuh diri.
Bunuh diri seakan tengah menghantui kehidupan masyarakat dewasa ini. Masyarakat seakan terus dibayang-bayangi oleh banyaknya kejadian bunuh diri disana-sini. Di banyak lembaran media lokal maupun nasional, koran maupun televisi telah banyak dihiasi oleh berita seputar percobaan bunuh diri yang dilakukan masyarakat. Hal ini yang menjadikan bunuh diri menjadi begitu dekat dengan kehidupan masyarakat dan sebagai fenomena yang mungkin sudah dianggap biasa. Banyaknya suguhan berita di media yang mengabarkan adanya percobaan bunuh diri dengan cara memanjat tower, membakar diri, dan lain sebagainya. Bahkan masih segar diingatan ketika beberapa hari lalu ada percobaan bunuh diri yang dilakukan oleh seorang pemuda didepan istana negara dengan cara membakar diri. Tindakan-tindakan percobaan bunuh diri ini tentunya dilatari oleh alasan kausalitas yang berbeda-beda. Namun yang terasa paling dekat adalah alasan ekonomi.    
Kubangan Kemiskinan dan Pilihan Bunuh Diri
Roda kehidupan tidak akan pernah berjalan normal tanpa diikuti dengan kondisi perekonomian yang baik. Tingginya angka kemiskinan adalah wajah paling nyata dari keadaan ekonomi masyarakat hari ini. Kemiskinan telah memberikan manusia tekanan hidup yang cukup dilematis. Terasa sulit untuk keluar dari kubangan kemiskinan, bila masyarakat dihadapkan pada kondisi lapangan kerja yang semakin menyempit dan peluang kerja yang semakin kecil.
Langkah pengentasan kemiskinan bukannya tidak pernah dilakukan, namun semua usaha itu seakan mental dan tidak mampu menekan angka kemiskinan yang semakin tinggi. Lihat saja usaha pemerintah melalui kebijakannya untuk menyalurkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) misalnya. Usaha ini belum terbilang efektif karena faktanya dana BLT yang hanya berjumlah Rp. 300.000 hanya bartahan dalam hitungan hari. Kebutuhan hidup si penerima BLT tidak akan mampu tercukupi dengan nominal uang sejumlah itu. Atau mungkin program BLT diatas hanya merupakan pelipur lara bagi masyarakat sebagai usaha pemerintah untuk menutupi kedoknya karena telah berselingkuh dengan kaum kapitalis yang telah mengedapankan proyek-proyek pembangunan yang hanya akan memberikan keuntungan kepada golongan mereka. Kalau demikian adanya, maka tidak ada salahnya bila mengutip apa yang dikatakan Ahmad Erani Yustika bahwa “Kemiskinan tidak pernah mendarat dari langit, tetapi mengudara dari struktur yang membatu di bumi”. Atau usaha mandiri dari masyarakat dengan memilih berbondong-bondong keluar negeri menjadi TKI.
Minimnya lapangan pekerjaan menjadi salah satu faktor tingginya angka kemiskinan di negara ini. Tengok saja angka pengangguran saat ini yang disumbangkan oleh kampus misalnya, kurang lebih mencapai 750.000 lulusan diploma dan sarjana menganggur. Belum lagi jika ditambah dengan jutaan siswa putus sekolah dari tingkat SD hingga SLTA yang tercatat sejak tahun 2002 rata-rata mencapai jumlah 1,5 juta siswa setiap tahun. Dan ini baru angka pengangguran dengan kategori terdidik, bagaimana bila ditambah dengan angka pengangguran dengan kategori tidak terdidik? Silahkan hitung sendiri. 
Ironisnya, angka kemiskinan yang begitu tinggi tidak mampu mendatangkan rasa iba pasar untuk tidak menaikkan harga kebutuhan bahan pokok, seperti bahan-bahan baku dapur dan lain sebagainya. Juga tidak mampu menyadarkan pemerintah untuk segera memenuhi janji politiknya untuk memberikan pendidikan gratis dan pengobatan gratis bagi masyarakat miskin.
Dilematika hidup yang begitu ruwet, memaksa kita untuk memutar otak semaksimal mungkin dalam rangka menemukan cara untuk bertahan hidup (survive to live). Persoalan kemiskinan yang terus menjadi pertanyaan besar yang belum mampu terjawab, banyaknya suguhan solusi kemiskinan yang terus-terusan mental dan tidak berhasil, dan ditengah ambiguitas masyarakat dalam menghadapi semua itu maka tidak heran jika pilihan terakhir yang dianggap cukup realistis adalah dengan mengeliminasi diri dari panggung kehidupan ini dengan jalan bunuh diri.
Menyikapi Trend Bunuh Diri
Secara teoritis, seturut Durkheim tindakan bunuh diri (sucide) terklasifikasi menjadi tiga macam yang didasarkan pada penyebab terjadinya tindakan bunuh diri. Tiga macam bunuh diri tersebut adalah Pertama, egoistik sucide, bunuh diri yang dikarenakan oleh keputusasaan manusia (masyarakat) dalam menghadapi persoalan hidup yang cukup akut dan kompleks. Kedua, atroistik sucide, adalah tindakan bunuh diri yang disebabkan oleh adanya doktrin ajaran yang mengikat dirinya. Dan ketiga, anomik sucide, merupakan tindakan bunuh diri yang dikarenakan oleh kegagalan adaptasi seorang individu dengan sistem yang ia hadapi atau dengan kata lain, individu tersebut belum  mendapatkan kepastian norma. Ketiga jenis bunuh diri ini tentunya dapat dipakai untuk melihat fenomena bunuh diri yang terjadi di masyarakt kita.
Untuk bisa sedikit menjauhkan kita dari pilihan bunuh diri, saya rasa kita perlu menyadari satu hal bahwa kehidupan yang kita jalani ini sebenarnya tidak pernah memberikan kepastian. Namun kita selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan hidup yang begitu beragam. Persoalan kemiskinan-atau persoalan hidup lainnya-yang sedang kita hadapi merupakan satu dari sekian pilihan hidup yang ada. Mengatasi persoalan tersebut bukan dengan menghindar apalagi samapai terjebak pada pilihan melakukan bunuh diri. 
Yang tidak disadari pula oleh pelaku-pelaku bunuh diri adalah “dampak” dari tindakan yang mereka ambil. Dampak bagi keluarganya secara khusus dan dampak bagi masyarakat secara umum. Atau pun dampak yang akan ditanggungnya sendiri kelak ketika akan berhadapan dengan sang Ilahi. Karena tentunya tindakan bunuh diri merupakan tindakan yang sangat tidak diridhoi oleh agama. Yakinlah bahwa bunuh diri bukanlah solusi jitu dalam mengatasi persoalan hidup. Melainkan tindakan tersebut akan menimbulkan dampak yang besar bagi kehidupan sekaligus menjadi persoalan baru yang juga membutuhkan solusi baru (solusi dalam solusi). Atau dengan singkat kata, bunuh diri adalah tindakan yang dinggap sebagai solusi hidup, namun tidak solutive.

Monday, May 7, 2012

OBYEKTIVASI BENTUK AGAMA DALAM MASYARAKAT


Agama merupakan suatu sistem keyakinan yang dianut dan tindakan-tindakan yang diwujudkan oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam menginterpretasi dan memberi respons terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai yang gaib dan suci[1]. Sebagai suatu keyakinan, agama memiliki ciri yakni berlandaskan pada dua konsep, yakni konsep suci (sacred) dan konsep duniawi (profan).
Ditinjau dari aspek historis, perkembangan kajian agama (sosiologi agama) dapat dilihat dalam tiga tahap periode, yakni periode klasik, periode modern, dan periode post-modern. Pada periode klasik sosiologi agama bermula dari sosiologi Kristiani yang kental dengan dua muatan konsep keagamaan diatas. Sehingga pada periode ini agama dapat dikatakan memiliki dua bentuk, yakni agama Organik (baca: sistem organik) dan agama Gereja (baca: sistem gereja). Sistem Organik merupakan konsepsi keagamaan yang tidak membedakan atau mengkaitkan antara urusan keagamaan dengan urusan duniawi. Sementara sistem Gereja adalah konsep keagamaan yang memebedakan antara yang suci (sacred) dan yang duniawi (profane).
Pada periode ini, teori sosiologi yang domain adalah teori Positivistik (aliran positivisme/reduksionisme). Teori positivistik dipelopori oleh seorang sosiolog Prancis yakni Emile Durkheim. Teori ini mengatakan  bahwa agama itu identik dengan norma-norma sosial yang melekat pada peranata sosial. Peranata sosial sendiri dikatakannya bersumber pada alam.
Dalam teori positivistik, segala yang ada itu adalah semua yang dapat diobservasi dan didatangkan buktinya secara empirik. Sehingga segala sesuatau yang dikatakan atau diyakini ada haruslah berbentuk materi. Dan begitu juga dengan agama bila dilihat dari perspektif teori ini maka agama haruslah apa yang dapat dilihat dan dapat dibuktikan secara empirik. Maka tak heran bila melihat pandangan Durkheim-sebagai penganut aliran positivisme-mengenai agama yang melihat agama lahir dari kepercayaan-kepercayaan manusia terhadap benda-benda yang dianggapnya memiliki kekuatan mistik. Secara lebih khusus Durkheim menamakan agama ini sebagai agama Primitif.
Agama primitif lahir atas dasar adanya kepercayaan manusia (pada waktu itu) terhadap adanya kekuatan-kekuatan mistis yang dimiliki atau yang melekat pada benda-benda atau hewan-hewan yang melekat dengan alam sekitar. Sehingga teori positivistik mensyaratkan bahwa fakta agama haruslah konkret.  Benda-benda yang dianggap memiliki kekuatan mistis  itu kemudian di sakralkan atau disucikan (sacred). Benda-benda yang dipercaya berkekuatan mistis tadi kemudian dikatakan Durkheim sebagai Totem (totemisme). Totem secara terminologis merupakan penuhanan oleh manusia terhadap benda-benda atau hewan-hewan yang dianggap memiliki kekuatan mistis dan melekat pada dunia.  
Peranata sosial-yang agama identik didalamnya-merupakan aneka ragam norma-norma yang mengatur hidup manusia. Peranata sosial dapat meliputi budaya, social, ekonomi, politik, dsb. Yang pada perjalanannya peranata sosial membentuk dua bentuk  solidaritas, yakni solidaritas mekanik dan solidaritas organik. Solidaritas mekanik adalah ikatan persahabatan yang terjalin atas dasar landasan keseragaman. Sementara solidaritas organik merupakan tautan persahabatan yang berlandaskan pada peran dan fungsi manusia yang berbeda namun tetap memiliki sikap solider. Dari diferensiasi dua bentuk soilidaritas diatas, maka dapat dikatakan bahwa solidaritas mekanik dapat ditemukan pada masyarakat yang masih berkultur tradisional atau primitif, sementara solidaritas organis akan dapat ditemukan pada masyarakat yang menetap di perkotaan atau sudah berkultur modern.
Agama (peranata sosial) memiliki fungsi menjadi pedoman hidup bersama, alat pemersatu kehidupan bersama, dan sebagai pengendali sosial atau kontrol sosial bagi tindakan-tindakan para anggota masyarakat agar tetap berjalan sesuai dengan nilai-nilai yang diajarkan oleh agama yang dipercayainya. Hal ini mengharuskan para anggota masyarakat untuk melakukan penyesuaian norma (adaptasi) pada nilai-nilai kebudayaan dan ajaran-ajaran keagamaan yang mereka percayai. Bila individu atau kelompok individu (masyarakat) mendapatkan kegagalan (anomali) pada proses adaptasi diatas, maka konsekuensinya adalah berujung pada apa yang disebut Durkheim sebagai disintegrasi sosial atau bunuh diri sosial (sucide).
Sucide dapat dikelompokkan mejadi tiga kategori, yakni sucide eogistik, sucide atroistik, dan sucide anomik. Sucide egoistik adalah tindakan bunuh diri sosial yang dilakukan individu atau kelompok individu karena tidak mampu mengatasi persoalan-persoalan kesulitan hidup yang mengantarkannnya pada rasa putus asa. Sucide atroistik merupakan tindakan bunuh diri sosial yang dilakukan oleh individu atau kelompok individu karena adanya doktrin ajaran yang melekat dalam dirinya. Dan sucide anomik adalah tindakan bunuh diri sosial oleh individu atau kelompok individu yang disebabkan oleh belum adanya kepastian norma atau kegagalannya dalam proses adaptasi dengan noram-norma tempat individu atau kelompok individu tersebut menetap.
Pada periode modern, teori yang determinan adalah teori Idealisme. Teori ini dipelopori oleh seorang sosiolog Jerman yakni Max Weber. Teori idealisme melihat agama sebagai sebuah kesadaran internal yang bersifat subyektif. Analisis kemanusiaan pada era ini lebih menekankan pada kepentingan-kepentingan ekonomi (etika ekonomi) keagamaan.
            Istilah “etika ekonomi’ mengacu pada impuls-impuls praktis bagi tindakan yang dikembangkan dalam konteks psikologikal dan pragmatik dari agama. Tidak ada etika ekonomi yang semata-mata ditentukan oleh agama. Aspek sikap manusia terhadap dunia sebagaimana ditentukan oleh faktor-faktor “dalam” agama, atau faktor-faktor geografi ekonomi tertentu, dan sejarah menetukan ukkuran otonomi ini pada tingkat yang tertinggi. Aspek keagamaan dari prilaku kehidupan, bagaimanapun, hanya salah satu dari faktor-faktor penentu etika ekonomi. Tentu saja, cara hidup yang ditentukan oleh agama dipengaruhi oleh faktor ekonomi dna politik yang bekerja dalam batas-batas geografis, politis, sosial, dan nasional[2].  
Teori idealistik mensyaratkan pemahaman agama dengan melihat pada proses tindakan sosial sesorang individu. Karena bagi aliran idealistik, bahwasanya dalam memahami sebuah sistem (baca : agama) tidak dapat dilakukan hanya dengan melihat pada pranata agama itu secara langsung, namun harus diadakan penelitian langsung terhadap individu yang menjalani sistem tersebut.
Bagi Weber, setiap tindakan sosial pasti memiliki motif-motif tindakan. Motif-motof tindakan dalam konteks keagamaan dapat dikatakan merupakan etika (ethos), dan motif-motif tidakan tersebut dapat dilihat pada bebrapa hal, diantaranya: 1). Fokus agama  berdasarakan pada kesadaran etis (ethos). Kesadaran ini bersifat subyektif dan terletak pada soscial action (tindakan sosial) yang bertujuan untuk keselamtan. 2). Metode pemahaman agama dengan cara interpretasi. Metode ini dilakukan dengan cara menafsirkan obyek-obyek penelitian (individu dan agama) yang hasilnya tidak harus empirik tapi dapat bersifat abstrak. 3). Asetisme. Asetisme adalah faktor pendukung social action untuk mencapai keselamtan. Asetisme bersifat mencegah terhadap nafsu duniawi tapi tidak menolak secara mutlak terhadap kehidupan duniawi (zuhud).
 Karena teori idealistik tidak hanya meneliti aspek-aspek supranatural-dalam hal ini agama- tapi lebih memprioritaskan pemahaman terhadap tindakan sosial individu, maka dalam perspektifnya, teori ini berpandangan bahwa individu memiliki kekuatan-kekuatan yang dapat menyebabkannya mampu untuk merubah sistem dalam masyarakat. Diantara kekuatan-kekutan tersebut adalah : kekuatan kharismatis, kekuatan otoritatif, dan kekuatan rasionalistik. Kekuatan Kharismatis, kekuatan ini berada pada wilayah masyarakat religious. Kharisma merupakan suatu kemampuan khusus yang melekat pada diri seseorang dan merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa. Kekuatan Otoritatif, kekuatan ini berorientasi pada masyarakat tradisional. Wewenang ini tidak datang dari wahyu sebagaimana wewenang kharismatis, melainkan dapat dimiliki oleh orang yang memiliki kekuasaan dalam masyarakat, yang kekuasaannya itu diakui oleh msyarakat. Kekuatan Rasionalistik, kekuatan ini merupakan kekuatan yang berdasarkan pada hukum dan kaidah-kaidah yang berlaku dan diakui oleh masyarakat, bahkan cenderung dirasuki oleh campur tangan negara. Kekuatan ini dapat berkembang dikalangan masyarakat modern.
Sementara pada periode post-modern kajian sosiologi bercirikan adanya penolakan terhadap teori-teori sosiologi modern, ditambah lagi dengan adanya kritik dari aliran “teori sosial ktiris” mazhab Frankfurt.  Diantara kritik yang dilontarkan oleh aliran kritis mazhab Frankfurt, diantaranya[3] :
1.      Teori sosial kritis berlawanan dengan positivisme. Teori ini beranggapan bahwa pengetahuan bukan semata-mata refleksi atas dunia statis “diluar sana”. Namun dia adalah konstruksi aktif oleh ilmuwan dan teori yang membuat asumsi tertentu tentang dunia yang mereka pelajari sehingga tidak sepenuhnya bebas nilai. Lebih jauh, teori sosial kritis berlawanan dengan pandangan positivis yang menyatakan bahwa sains harus menjealaskan hukum alam masyarakat. Sebaliknya, teori sosial kritis percaya bahwa masyarakat ditandai oleh historisitas (terus mengalami perubahan).
2.      Teori sosial kritis membedakan masa lalu dan masa kini, yang secara umum ditandai oleh dominasi, eksploitasi, dan penindasan.
3.      Teori sosial kritis berpandangan bahwa dominasi bersifat struktural. Yakni kehidupan masyarakat sehari-hari dipengaruhi oleh institusi sosial yang lebih besar sperti politik, ekonomi, budaya, diskurus, gender, dan ras.
4.      Teroi sosial kritis berkeyakinan bahwa struktur dominasi diproduksi melalui kesadaran palsu manusia. Hal ini dilanggengkan oleh ideologi Marx, reifikasi Georg Lukacs, hegemoni Antonio Gramsci, pemikiran satu dimensi Marcuse, dan metafisika keberadaan Derrida. Kini kesadaran palsu itu dipelihara oleh ilmu sosial positivis dan sosiologi yang menggambarkan masyarakat sebagai entitas yang dikendalikan oleh hukum kaku.
5.      Teori sosial kritis berkeyakinan bahwa perubahan sosial dimulai dari rumah, pada kehidupan sehari-hari manusia, seprti seksualitas, peran keluarga, dan tempat kerja.
6.      Teori sosial kritis menggambarkan hubungna antara struktur dan manusia secara dialektis.
7.      Teori sosial kritis berlawanan dengan pernyataan bahwa kemajuan akhir terletak pada ujung jalan panjang yang hanya dapat dilewati dengan mengorbankan kebebasan dan kemerdekaan manusia.  
Tokoh sosiologi yang domain pada masa ini adalah Peter L. Berger dan Talcott Parsons. Kedua tokoh sosiologi ini mencoba mensinergikan atau menggabungkan kedua tokoh teori sosiologi kalsik yang bertentangan yakni Emile Durkheim dan Max Weber atau yang dikenal dengan istilah teori Sintesis. Baiklah, kita awali dengan analisis seputar perspektif Berger dalam dunia sosiologi agama.
Dalam perspektif Berger, masyarakat adalah fenomena dialektik dalam pengertian bahwa masyarakat adalah suatu produk manusia, yang akan selal memberi timbala balik kepada produsernya. Masyarakat tidak memiliki bentuk alin kecuali bentuk yang telah diberikan kepadanya oleh aktivitas dan kesadaran manusia. Namun realitas sosial tidak tak terpisah dari manusia, sehingga dapat dipastikan bahwa manusia adalah suatu produk masyarakat. Masyarakat sudah ada sebelum individu dilahirkan dan masih akan ada sesudah individu mati. Lebih dari itu, didalam masyarakatlah individu menjadi sebuah pribadi dan melaksaakan berbagai proyek yang menjadi bagian dari kehidupannya.
Dalam pandangan sintesanya, Berger menyatakan dialektik fundamental dari masyarakat terdiri dari tiga momentum, yaitu eksternalisasi, obyektivasi, dan internalisasi. Eksternalisasi adalah kecurahan kedirian manusia secara terus-menerus ke dalam dunia, baik dalam aktivitas fisis maupaun mentalnya. Obyektivasi adalah disandangnya produk-produk aktivitas itu (baik fisis maupun mental), suatu realitas yang berhadapan dengan para produsernya semula, dalam bentuk  suatu kefaktaan (faktisitas) yang eksternal terhadap dan lain dari para produser itu sendiri. Internalisasi adalah peresapan kembali realitas tersebut oleh manusia, dan mentransformasikannya sekali lagi dari struktur-struktur dunia obyektif ke dalam struktur-dtruktur kesadaran subyektif. Melalui eksternalisasi, maka masyarakat merupakan produk manusia (lebih ke Weber). Melalui obyektivasi, maka masyarakat menjadi realitas sui generis, unik. Dan melalui inernalisasi, maka manusia merupakan produk masyarakat (lebih ke Durkheim)[4].       
Ekternalisasi merupakan keharusan kebudayaan (antropologis) manusia, obyektivasi merupakan apa yang diperoleh sebagai produk-produk kultural manusia baik yang bersifat material maupun non material, dan internalisasi mengisyaratkan faktisitas obyektif juga menjadi faktisitas subyektif. Karena kebudayaan dibentuk oleh pengalaman manusia atau dengan kata lain kebudayaan terdiri dari totalitas produk-produk manusia, maka dapat dikatakan bahwa dunia sosial (nomos) merupakan dunia yang dibangun secara sosial dan merupakan suatu penataan pengalaman. Dan begitu juga halnya dengan agama.
Bagi Berger agama merupakan suatu usaha manusia untuk membentuk suatu kosmos keramat. Dengan kata lain agama adalah suatu kosmisasi dalam suatu cara yang sakral (keramat). Keramat dimaksudkan sebagai suatu kualitas kekuasaan yang misterius dan menakjubkan, bukan dari manusia  melainkan berkaitan dengan apa yang diyakini berada dalam obyek-obyek pengalaman tertentu. Kualitas ini dapat disandangkan pada obyek-obyek alami atau arfiliasi, pada binatang atau manusia. Ada batu keramat, peralatan keramat, sapi keramat, dan lain sebagainya yang keramat-keramat. Yang pada akhirnya kualitas tersebut dapat dibentuk dalam makhluk-makhluk keramat, dari roh-roh lokal sampai dewa-dewa langit yang tertinggi, yang pada gilirannya, mungkin berubah bentuk menjadi kekuatan-kekuatan atau asas-asas yang mengatur kosmos, dan tidak lagi dibayangkan dalam kerangka personal melainkan masih mengandung status kekeramtan. Yang keramat itu difahami sebagi “menyeruak” dari rutinitas normal kehidupan sehari-sehari, sebagai sesuatu yang luar biasa. Meskipun yang keramat itu difahami sebagai bukan manusia, namun acuannya kepada manusia. Kosmos yang ditegakkan oleh agama itu untuk mengatasi (transcend) dan juga meliputi manusia. Kosmos yang keramat itu dihadapi oleh manusia sebagai suatu realitas yang sangat berkuasa yang bukan dari dirinya sendiri. Namun realitas itu tertuju pada diri manusia dan menempatkan kehidupan manusia dalam suatu tatanan yang bermakna[5].  
    Sementara Talcott Parsons melihat agama sebagai sesuatu yang melekat pada sistem dan struktur sosial dan penafsiran masing-masing individu, atau yang dikenal dengan Religiusitas. Religiusitas berakar pada kesadaran individu dan kesadaran kolektif.
Pendekatan Parsons lebih dekat pada pendekatan yang digunakan Weber, yakni dengan melakukan pemahaman atau interpretasi atas tindakan sosial individu. Karena inti tindakan sosial bagi Parsons adalah adanya tujuan dan sebagai alat individu untuk bertindak dalam sebuah situasi sosial agama setempat. 
Pendekatan sisntesis Parsons dan Berger dapat dilihat dalam teori Dualistik Positivisme. Dualistik positivisme melihat masyarakat dan individu terbentuk secara sendiri-sendiri secara sekaligus. Dualistik positivisme adalah bentuk sinergitas dari teori obyektifisme Emile Durkheim dan teori subyektifisme Max Weber.
Baiklah, kini kita masuk pada pembicaraan seputar fungsi-fungsi sosial agama dan identifiksi sosiologis agama. Fungsi-fungsi sosial agama diantaranya : 1). Fungsi Ganda, fungsi ini dapat mengahsilkan efek positip dan negatif. Positifnya adalah agama dapat membentuk persaudaraan yang lebih erat diantara pemeluk-pemeluknya (integrasi), dan dampak negatifnya adalah agama dapat membentuk konflik diantara penganut-penganutnya. Konflik agama dapat berbentuk konflik teologi, konflik ekonomi-politik (agama tampil untuk menjstifikasi), konflik kpentingan subyektif, dan konflik norma-norma lokal. 2). Fungsi pembentukan dunia, agama menempati tempat tersendiri dalam usaha pembentukan dunia, namun dapat ditemukan pada tiga ddialektik fundamental masyarakat-seperti yang sudah dijelaskan diatas- yakni internalisasi, eksternalisasi, dan obyektivasi.  3). Fungsi transformatif, agama dapat mengubah hakikat sesuatu menjadi sesuatu yang baru. 4). Fungsi kontrol sosial, dalam hal ini agama berfungsi menyaring nilai-nilai yang ada dan kemudian para pengikutnya bersikap sesuai dengan nilai-nilai yang sudah dipilih. 5). Fungsi kritik atau nubuwah, agama mampu mengkritisi kekurangan-kekurangan dunia sosial melalui perspektif agamis. 6). Fungsi stratifikasi sosial, agama lahir karena adanya penghargaan orang terhadap suatu niali. 7). Fungsi pembentukan, agama menagmbil tempat sebuah ideologi.
Identifikasi sosiologis agama atau cara mengenali tanda-tanda adanya agama, diantaranya : a). Agama sebgai pengalaman pribadi (subyektif); kepercayaan manusia kepada hal-hala yang supranatural (mitos, kosmos,dsb). b). Agama sebagai masyarakat (komunitas); agama dapat berbentuk comunity (sektoral) dan socity (universal). c). Agama sebagai peranata sosial; agama sebagai norma-norma yang dapat menjadi pedoman, pemersatu, dan pengontrol kehidupan. d). Agama sebagai ritual; tatkala agama sangat nampak dalam proses-prose ibadah atau upacara. e.) agama sebagai ideologi.
Kemudian yang terakhir adalah analisis sosial terhadap agama. Ada lima pendekatan yang dapat digunakan dalam menganalisa agama melalui perspektif sosial, diantaranya : pertama, pendekatan struktural-fungsional. Pendekatan struktural fungsional pendekatan ini mengatakan bahwa agama memiliki norma-norma yang kuat (konformitas), dan bercirikan stabil, tidak ada perubahan (statis), organik, dan adanya equilibrium (keseimbangan). Kedua, pendekatan konflik marxian-struktural (non marxian).  Pendekatan konflik marxian dikenal sebagai konflik vertikal yakni adanya kelas-kelas sosial (kelas kuasa dan kelas yang dikuasai) dalam masyarakat, sementara pendekatan non marxian dikenal sebagai konflik horizontal yakni adanya kepentingan-kepentingan kelopmpok dalam masyarakat.
Ketiga, pendekatan posmo dan kritik sosial. pendekatan ini melihat adanya dominasi dan hegemoni dalam masyarakat, dan bercirikan adanya kharismatik, adanya proses dominasi dan hegemonni, serta mengajak kearah pemebebasan (empowering/libration). Keempat, pendekatan interpretasi-hermenuitik.  Pendekatan interpretatif- hermenuiti melihat pada persoalan yang nyata (manifest) dan laten (fkta). Kelima, pendekatan sintesis-dialektis. Sebagaimana telah dijelaskan diatas mengenai teori sintesis, bahwa pendekatan ini dipelopori oleh Tlacott Parsons dan Peter L berger. Parsons menekankan pandangannya pada persoalan tindakan sosial sementara Berger menekankan pandangannya pada persoalan mitos. Pendekatan sintesis-dialektis melihat individu tidak dapat terpisahkan dari sistem dan struktur sosial, sehingga hal ini lah yang dalam pandangan sintesa berfungsi membentuk agama (religiusitas). Secara definitif, Religiusitas sendiri merupakan agama sebagai hasil dari produksi sosial (sistem dan struktu sosial).     
  








DAPTAR BACAAN
Agger, Ben. 2009. Teori Sosial Kritis Kritik, Penerapan Dan Implikasinya. Yogyakarta : Kreasi Wacana.
Berger, Peter L. 1991. Langit Suci Agama Sebagai Realitas Sosial. Jakarta : LP3ES
Robertson, Roland (ed). 1993. Agama Dalam Analisa Dan Interpretasi Sosiologis. Jakarta : RajaGrafindo Persada.  


        
          
           
           











[1] Roland. Robertson,  Agama Dalam Analisa Dan Interpretasi Sosiologis, Jakarta, RajaGrafindo Persada, 1993. hlm  : v-vi
[2] Ibid, hlm : 5-6
[3] Ben. Agger, Teori Sosial Kritis Kritik, Penerapan Dan Implikasinya, Yogyakarta : Kreasi Wacana, 2009. hlm : 7-10
[4] Peter L. Berger, Langit Suci Agama Sebagai Realitas Sosial, Jakarta : LP3ES, 1991. hlm : 3-5
[5] Ibid. hlm : 32-33