Tuesday, May 22, 2012

Makalah Teori Sosial; Etnometodologi


Pendahuluan
Dalam kehidupan yang sifatnya dinamis ini, manusia sebagai makhluk sosial tidak akan pernah bisa lepas dari individu-individu yang lain. Sehingga mereka akan selalu bersentuhan dengan indvidu lainnya, dengan kelompok individu, bahkan antara kelompok individu dengan kelompok individu yang lain, atau dalam dunia sosial lebih dikenal dengan istilah Interaksi Sosial. Interaksi sosial yang terbangun melahirkan gejala-gejala sosial (fakta sosial) dalam kehidupan masyarakat. Ilmu sosial hadir dengan tujuan untuk membangun pemahaman atas setiap fakta sosial yang terjadi ditengah masyarakat. Pemahaman tersebut dapat ditempuh melalui pengamatan sosial. Pengamatan sosial tidak hanya dilakukan dengan satu cara dan dari satu sudut pandang sosial saja, sehinggan hal ini kemudian melahirkan banyak metodologi yang dapat dipergunakan dalam melakukan pengamatan sosial. Diantara metodologi yang ada salah satunya adalah Etnometodologi.
Pengamatan atas fakta sosial yang dilakukan oleh ahli ilmu sosial dewasa ini masih terklasifikasi dalam dua wilayah objek kajian, yakni pengamatan yang dititikberatkan pada persoalan-persoalan makro, dan pengamatan yang tertuju pada persoalan-persoalan mikro. Emile Durkheim misalnya, adalah salah satu tokoh sosiologi yang menempatkan pengamatannya pada persoalan makrososiologi (struktur sosial dan pranata sosial). Durkheim berangkat dari pemahaman bahwa fakta sosial berada diluar dan bersifat memaksa individu untuk mengikuti struktur dan peranata sosial yang ada. Kemudian adalah Max Weber salah satu tokoh termasyhur dalam dunia sosiologi yang meletakkan pengamatan pada wilayah mikrososiologi seperti Tindakan Sosial. Weber berangkat dari pemahaman bahwa individulah yang membangun struktur sosial, sehingga mengamati persoalan sosial tidak bisa langsung tertuju pada struktur sosial (makrososiologi) yang ada namun harus diawali dengan mengamati tindakan sosial individu (mikrososiologi).
Berbeda dengan kedua tokoh ahli sosiologi diatas, Harold Garfinkel sebagai pencetus teori Etnometodologi melihat fakta sosial sebagai sesuatu yang fundamental dalam kehidupan sosial. Sehingga dalam penggunaannya Etnometodologi tidak terpaku pada hal-hal yang sifatnya makro maupun mikro, namun memusatkan pengamatannya pada interaksi sosial yang dilakukan manusia dalam kesehariannya, salah satunya melalui pengamatan Etnometodologi atas percakapan sehari-sehari yang dilakukan manusia.     
Etnometodologi meletakkan studi mengenai kegiatan manusia sehari-hari atas dasar common sense. Realitas common sense dan eksisitensi sehari-hari manusia merupakan kepentingan praktis dalam kehidupan sosial. kepentingan praktis kemudian dilawankan dengan kepentingan ilmiah (teoritis). Teori ilmiah membangun pemahaman atas realitas sosial melalui penelitian yang sisitematis dan teoritis. Bagi Alferd Schutzs (tokoh sosial yang mempengaruhi Garfinkel dalam melahirkan teori Etnomrtodologi) manusia bergerak bukan berdasarkan teori ilmiah melainkan atas dasar common sense atau kepentingan praktis. Pada wilayah inilah (kepentingan praktis) etnometodologi hadir sebagai alat pengamatan pergerakan keseharian manusia untuk membangun pemahaman utuh atas fakta sosial yang tengah tertebar di masyarakat.
Pembahasan
A.      Pengertian Etnometodologi
Istilah Etnometodologi (ethnomethodolgy) berasal dari bahasa Yunani yang berarti metode, yang digunakan orang dalam menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Etnometodologi pada dasarnya merupakan kumpulan pengetahuan berdasarkan akal sehat dan rangkaian prosedur dan pertimbangan (metode) yang dengannya maasyarakat biasa dapat memahami, mencari tahu, dan bertindak berdasarkan situasi dimana mereka menemukan dirinya sendiri[1].
            Pemahaman lebih mendalam tentang sifat dasar etnometodologi akan bisa didapatkan dengan meneliti upaya pendirinya Harold Garfinkel untuk mendefinisikannya. Sebagaimana Durkheim, Garfinkel menganggap fakta sosial sebagai fenomena sosiologi fundamental. Namun fakta sosial menurut Garfinkel sangat berbeda dari fakta sosial menurut Durkehim. Menurut Durkheim, fakta sosial berada diluar dan memaksa individu. Pandangan ini cenderung melihat aktor dipaksa atau ditentukan oleh struktur dan pranata sosial dan sedikit sekali kemampuannya atau tidak mempunyai kebebasan untuk memuat pertimbangan. Sebaliknya etnometodologi membicarakan obyektivitas fakta sosial sebagai prestasi anggota, sebagai produk aktivitas metodologis anggota. Dengan kata lain etnometodologi memusatkan perhatian pada organisasi organisasi kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, Etnometodologi bukanlah makrosoiologi dalam arti yang dimaksud Durkheim, tetapi bukan juga sebagai mikrososiologi. Sehingga etnometodologi memusatkan perhatian pada aktivitas sehari-hari individu[2]. Etnometodologi memiliki tiga dasar asumsi[3], yakni:
1.      Kehidupan sosial pada dasarnya tidak pasti; namun,
2.      Para pelaku tidak menyadari hal ini, karena
3.      Tanpa mereka ketahui, mereka memiliki kemampuan yang dibutuhkan untuk membuat dunia nampak sebagai tempat yang teratur.
B.  Studi Empiris Etnometodologi
Esensi dari etnometodologi tidak hanya terletak pada pernyataan teoritis, namun pada studi empiris (pengaplikasian). Karena semua pengetahuan teoritis tentang etnometodologi, itu lahir dari studi empiris. Studi empiris etnometodologi terletak pada studi (kajian) mengenai “percakapan” yang dilakukan manusia dalam interaksi sehari-harinya.
Percakapan adalah aktivitas interaksi yang menunjukkan aktivitas yang stabil dan teratur yang merupakan kegiatan yang dapat dianalisis[4]. Analisis Percakapan (conversation analysis) memiliki tujuan untuk memahami secara rinci struktur fundamental interaksi melalui percakapan. Analisis percakapan lebih memusatkan perhatian pada hubungan antara ucapan dalam percakapan ketimbang hubungan antara pembicara dan pendengar.
            Analisis Percakapan merupakan salah satu ranah yang paling berkembang dan paling kaya dalam etnometodologi. Analisis percakapan dianggap sebagai program yang penting dan paling sempurna dari etnometodologi. Praktek ini dibangun oleh Harvey Sack, di pertengahan tahun enam puluhan, dengan menjadikan percakapan sebagai tema utama penelitiannya.
Menurut Zimmerman, tujuan dari analisis percakapan adalah untuk memahami secara mendetail struktur fundamental dari interaksi percakapan. Lebih lanjut Zimmerman, merangkum dasar-dasar analisis percakapan dalam lima premis[5].
Pertama, Analisis percakapan mensyaratkan adanya kumpulan dan analisis data yang mendetail. Data ini meliputi tidak hanya kata-kata tetapi juga keragu-raguan, desah nafas, sedu sedan, gelak tawa, perilaku non verbal dan berbagai aktivitas lain. Semua itu menggambarkan perbuatan percakapan aktor yang terlibat.
Kedua, Bahkan detail percakapan harus dianggap sebagai suatu prestasi. Aspek-aspek percakapan tidak diatur oleh etnometodolog, aspek tadi diatur oleh aktivitas metodis dari para aktor itu sendiri. Ketiga, Interaksi pada umumnya dan percakapan pada khususnya mempunyai sifat-sifat yang stabil dan teratur hingga keberhasilan para aktor akan dilibatkan.
Keempat, Landasan fundamental dari percakapan adalah organisasi yang sequential. Kelima, Keterikatan bidang interaksi percakapan diatur dengan dasar lokal atau dengan bergilir.
Sebagai sebuah metode yang meletakkan studinya pada kegiatan manusia sehari-hari atas dasar commen sense, Etnometodologi melihat realitas common sense dan eksisitensi sehari-hari manusia merupakan kepentingan praktis dalam kehidupan sosial. Dalam melakukan kemampuan-kemampuan praktikalnya (kepentingan praktis) individu berpangkal pada sebauh pemahaman dan atau keyakinan akan fakta yang berdasar pada akal sehat dan kreasi.
Dilengkapi dengan pengetahuan akal sehat dan dengan kepercayaan (pemahaman) akan fakta, karakter teratur dunia, para anggota bergerak maju dan membuat setiap situasi dimana mereka berpartisipasi menjadi masuk akal. Etnometodologi menekankan bahwa setiap situasi sosial itu unik. Kata-kata yang diucapkan adalah indeksial (percakapan indeksial). Artinya bahwa kata-kata itu hanya masuk akal pada kesempatan atau waktu tertentu ketika mereka menggunakannya. Tetapi mereka juga menekankan bahwa para anggota, yang secara tidak disadari terlibat dalam mengidentifikasi keteraturan dan realitas objektif, memandang segala sesuatu secara berbeda. Mereka mengidentifikasi kesamaan suatu kejadian dengan kejadian lain. Mereka memilih dari semua hal yang terjadi disekitar mereka bukti yang mendukung pandangan bahwa hal-hal yang eksis atau yang terjadi adalah tipikal dunia. Bagi mereka, suatu situasi sosial adalah sebuah pelajaran, dan suatu pola dibangun padanya dengan menggunakan pengetahuan akal sehat[6].        
Dengan pengetahuan akal sehat itu pula, jarak-jarak perbedaan persepsi tentang suatu kejadian diisi atau didekatkan dengan cara yang sama oleh pendengar-pendengar yang berbeda untuk meyakinkan diri mereka kembali bahwa sesuatu yang terjadi itu adalah sebagaimana nampaknya, dan merupakan kemampuan praktikal yang dilakuakan individu atas dasar kapasitas kreasi dan akal sehat.  
Penutup
Etnometodologi jelas memiliki cara pandang yang berbeda dengan teori struktural dan interaksionis dalam melihat realita sosial. Sebagaimana dijelaskan diatas, bahwa teori struktural melihat gambaran yang paling signifikan dari kehidupan sosial manusia adalah dalam kekuatan-kekuatan eksternal yang bersifat memaksa individu. Sehingga dalam memahami perilaku sosial harus dibangun pemahaman atas determinasi struktural dalam kehidupan manusia. Sementara bagi kalangan interaksionis, pelaku (individu) ditempatkan sebagai objek perioritas. Sehingga teori ini membangun pemahaman dengan terlebih dahulu memahami tindakan-tindakan sosial individu.
Bagi etnometodologi, minat dan kepentingannya berbeda. Satu-satunya yang dapat dideskripsikan dengan pasti dalam kehidupan sosial adalah semua yang dilakukan individu secara bersama dalam kesehariannya yang berpangkal pada akal dan kreasi. Akahirnya, etnometodologi sampai pada sebuah keyakinan bahwa pendekatan ini mampu menunjukkan kebenaran tentang apa yang individu bangun melalui upaya mereka sendiri.

DAPTAR PUSTAKA
Jones. Pip, Pengantar Teori-Teori Sosial Dari Teori Fungsionalisme Hingga Teori Postmodernisme, 2009, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Ritzer. George dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, 2004, Jakarta : Prenada Media. 



















[1] George Ritzer dan Douglass J Goodman. 2004. Teori Sosiologi Modern. Jakarta : Prenada Media. hlm : 322
[2] Ibid, 322-333
[3] Pip Jones. 2009. Pengantar Teori-Teori Sosial. Jakarta : Yayasan Obor. hlm : 161 
[4] Op-cit, hlm : 327
[5] Ibid, hlm : 327-328
[6] Pip Jones. ibid, : 163 

No comments:

Post a Comment