Dalam
konteks keIndonesiaan, sebagai bangsa majmuk yang terdiri dari beragam agama,
bahasa, ras, etnis, Indonesia tidak pernah luput dari ancaman perpecahan dan
konflik yang bernuansa primordial. Intensitas
konflik yang terjadi bergerak paralel dengan menguatnya simbol-simbol dan identitas
keagamaan di masyarakat. Keberadaan agama dalam bingkai pluralitas menjadikan
sentimen eksklusivitas keagamaan diantara penganut agama di negara ini menjadi
semakin menguat.
Sebagai
sebuah negara yang mengakui keberadaan banyak agama (Islam, Kristen, Hindu,
Budha, Katolik, dan Kong Hu Cu) kesetaraan dalam hubungan antar agama (meminjam
istilah Azyumardi Azra) tersebut menjadi soal penting yang tidak bisa dipandang
sebelah mata. Isu tentang kesetaraan dalam hubungan beragama dalam masyarakat
plural harus mendapatkan perhatian lebih, agar keragaman agama tidak justru
menjadi “bensin” pemompa konflik di
masyarakat. Ketika keragaman agama dengan segudang perbedaan di dalamnya tidak
mampu diposisikan sebagai “anugerah” dan memunculkan kesepahaman bersama
dikalangan penganut agama, maka masa depan keberagamaan di negara ini berada
pada titik nadir kehancuran.
Dan ini
tentunya adalah ancaman besar bagi keberlangsungan kehidupan keberagamaan di
negara ini, karena masayarakat sebagai penganut agama, akan semakin terjerumus
ke jurang perbedaan.
Membaca
masa depan keberagamaan di Indonesia tentunya harus diawali dengan membangun
pemahaman atas realita keberagamaan yang terjadi hari ini. Kemampuan menemukan
akar permasalahan dari carut marutnya pemandangn keberagamaan hari ini adalah
landasan yang kuat untuk menciptakan sebuah analisa obyektif tentang
keberlangsungan kehidupan beragama di masa depan. Salah satu akar pesoalan yang
berposisi signifikan adalah pada adanya miss
communication dan tidak adanya mutual
understanding yang terbangun diantara kelompok-kelompok agama yang tertebar
di negara ini.
Berbicara
tentang masa depan kehidupan keberagamaan di Indonesia maka tidak bisa
dilepaskan dari analisis seputar kemajmukan (pluralitas) agama di negara ini.
Sebagai negara yang mengakui keberadaan banyak agama, maka yang menjadi penting
untuk diperhatikan adalah pada wilayah “hubungan
antar agama” yang ada di Indonesia. Karena bila wilayah ini luput dari
perhatian, maka keberagamaan di Indonesia (terlebih dengan balutan pluralitas)
akan menjadi ancaman besar bagi keberlangsungan hidup beragama. Ancaman yang paling
nyata adalah pada kemunculan konflik berkedokkan agama ditengah masyarakat. Ancaman
lainnya adalah pada penistaan
keberadaan agama, dimana agama yang seharusnya mampu menciptakan harmonisasi
kehidupan justru terjebak menjadi alasan utama terjadinya konflik. Hal ini bisa
memiliki efek bias pada sikap manusia (masyarakat) dalam memandang keberadaan
agama. Kemungkinan munculnya sikap “apatis”
masyarakat terhadap agama adalah menjadi salah satu ancaman yang tidak bisa
dinisbikan kemungkianannya. Apalagi semakin kencanganya arus sekularisasi yang
masuk ke lerung-lerung kehidupan masyarakat.
Mengelola Hubungan Antar Agama: Menuju Kesetaraan Beragama dalam
Bingkai Kemajmukan.
Istilah
Hubungan Antar Agama (HAA) telah menimbulkan beragam pertanyaan. Sebagaian
kalanagan ada yang mendukung dan tidak sedikit yang keberatan. Bagi yang
keberatan dengan istilah ini biasanya mempertanyakan “yang berhubungan itu
umat, orang yang beragama, atau agamanya? Yang aktif dan dinamis itu kan
orangnya bukan agama yang benda mati itu?” Bagi yang keberatan dengan istilah
HAA akan lebih sreg untuk menambahkan kata “umat ber-“ menjadi Hubungan
antar Umat Beragama[1].
Meski
sudah ada tambahan “umat ber-“ masih ada sebagian masyarakat yang merasa tidak
nyaman dengan istilah Hubungan Antar Umat Beragama. Mereka berpandangan bahwa
hubungan antar umat berbagai agama tersebut seyogyanya hanya dilakukan pada
dataran sosial-kemanusiaan. Lebih dari itu, hubungan dalam konteks teologis
atau ritual misalanya, hanya akan mengantarkan praktek sinkretisme yang pada
gilirannya akan merusak autentisitas masing-masing agama.[2] sehingga kelompok ini
cenderung mengkritik adanya even-even keagamaan yang sifatnya kolektif. Sehingga
ada tawaran istilah menjadi “Hubungan Sosial Antara Umat Beragama”.
Fakta
perdebatan ini menunjukkan adanya sentimen keberagaman berlebih (taqlid buta)
yang menghinggapi masing-masing umat beragama. Sentimen keberagamaan berlebih
semacam ini cenderung dilihat sebagai hasil produksi dari adanya intervensi postulat keagamaan yang
diterima dan dipahami oleh penganut agama. Pemahaman seperti ini akan
menghantarkan manusia untuk bersikap eksklusif dalam beragama. Padahal hubungan
antar agama tidak murni dipengaruhi oleh ajaran keagamaan semata, namun juga
disatu sisi dipengaruhi oleh kondisi sosio-politik-kultural masyarakat.
Lebih
lanjut, seturut dengan apa yang disitir oleh Azyumardi Azra bahwa hubungan
antar agama itu tidak hanya ditentukan oleh pelbagai pengajaran keagamaan,
namun juga dipengaruhi oleh beberapa faktor utama kehiduapn yang mempengaruhi
sikap masa bodoh masyarakat atas agama mereka, seperti: taraf ekonomi, tingkat
pendidikan, akses dan posisi dalam kekuasaan politik, kesukuan, latar belakang
budaya, gender, kebangsaan, geografi dan sejarah[3].
Ada
“cacat paradigma” yang selama ini berkembang dalam usaha membangun hubungan
beragama (baca: hubungan antar agama) dalam bingkai pluralitas. Pluralitas yang
seharusnya mensyaratkan adanya pemahaman tentang konsep multikulturalisme
justru ternisbikan oleh fanatime buta beragama yang melhirkan sikap eksklusif
dan truth claim di pihak
masing-masing agama. suasana seperti ini tentunya semakin memperkeruh hubungan
antar agama di negara ini yang seharusnya sudah mencapai titik harmoni. Isu
kesetaraan dalam hubungan antar agama terasa makin jauh panggang dari api bila
melihat fakta klaim-kaliman antara Islam dan Kristen misalnya.
Dalam
hubungan masyarakat Kristen dan Musmlim di Indonesia masih selalu ada
kecurigaan dan prasangka mendalam di benak masing-masing kedua masyarakat ini.
Muslim di Indonesia curiga tentang niat orang Kristen karena agama Kristen
datang melalui penjajahan. Kecurigaan ini semakin dikuatkan kembali dengan
adanya usaha perekrutan pemeluk baru yang dilakukan secara sembrono oleh
sekte-sekte Kristen tertentu. Pada sisi lain, orang Kristen curiga bahwa jika
kaum Muslim “yang memegang teguh agamanya” memiliki kekuasaan, mereka akan
mengekang kebebasan keberagamaan mereka (orang Kristen).[4]
Dalam
pengalaman lain, ketegangan kedua agama berlangsung pada perbedaan perspektif
mengenai usaha pembangunan hubungan antara agama yang sehat dan terjadinya
pengrusakan hubungan tersebut yang di kalim dilakukan oleh salah satu golongan.
Dalam perspektif seorang Muslim, hubungan antar agama yang sehat itu sering dirusak
oleh adanya Kristenisasi secara Agresif atau program penyebaran Injil dan
aktifitas-aktifitas yang langsung di arahkan pada kaum Muslim. Bahkan, kaum
Muslimin sangat mencurigai bahwa kaum Kristiani terus berupaya mengalihkan
agama kaum Muslim menjadi pemeluk Kristen dengan memberikan pemahaman yang
tidak adil bagi kaum Muslimin; memanfaatkan kelemahan kaum Muslimin di Bidang
ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan yang lain. Demikian juga, para missionaris
kristen dan para penyebar Injil percaya bahwa terdapat banyak batasan yang
dituntut bagi kaum Kristiani yang menyulitkan mereka, tidak hanya untuk
berdakwah tapi juga untuk melaksanakan ajaran kristiani.[5]
Disatu
sisi, yang tidak disadari adalah bahwasanya pemahaman atas konsep
multikulturalisme dalam kehidupan plural harus diutamakan, untuk tidak
mengatakannya mutlak, karena konsep multikulturalisme akan menuntun kita untuk
dapat menghargai perbedaan (keyakinan) serta memberikan manusia kepahaman
bersama bahwa perbedaan adalah sebuah anugerah. Dan tentunya itu adalah bagian
dari ajaran agama. Bila hal ini sudah tertanam dalam kesadaran masing-masing
penganut agama di negeri ini, maka kesetaraan dalam hubungan agama akan semakin
dekat untuk didapatkan, dan tentunya pemandangan keberagamaan di negara ini tidak
akan secarut-marut akhir-akhir ini.
Pada
hakikatnya, konsep Multikulturalisme merupakan mekanisme kerjasama dan
reciprocity (saling memberi) dengan mana setiap individu dan komponen
masyarakat sanggup memberikan tempat, menenggang perbedaan bahkan membantu
individu dan komponen lainnya yang ada di dalam masyarakat. nilai-nilai
toleransi, keterbukaan, inklusivitas, kerjasama dan penghormatan terhadap
hak-hak asasi manusia merupakan prinsip dasar multikulturalisme.[6]
Kebutuhan untuk menciptakan sebuah hubungan antar agama yang
sehat dan penuh kedamaian di Indonesia akan sangat tergantung pada adanya
kesadaran mengeni beberapa konsep keberagamaan diatas. Tiap kelompok keagamaan
harus mampu meperkenalkan anggotanya akan pentingnya menumbuhkan adanya rasa saling
pengertian (mutual understanding) dan
doktrinasi-doktrinasi serta praktek-praktek keagamaan yang berbasis pada
pemahaman terhadap (salah satunya) konsep multikulturalisme. Adanya keselarasan
penafsiran ajaran keagamaan dengan prinsip multikulturalisme akan mampu mengurangi
persepsi streotip dan pemahaman bias. Serta
akan menghasilkan sebuah rasa hormat dan toleransi beragama yang saling
menguntungkan. Bila demikian adanya, maka telah sepantansnya kita kembali
membangun rasa percaya dan optimise akan masa depan keberlangsungan kehidupan
beragama di negeri ini, dengan cara dan wajah yang lebih baik.
Daptar Bacaan
Abduh. M. Rifa`i (Ed),
2008, Equality And Plurality Dalam Konteks Hubungan Antar Agama,
Yogyakarta : Sukses Offset
Andang. Al, 2009, Agama Yang Berpijak Dan Berpihak,
Yogyakarta : Kanisius
Damami. Moh, 2011, Hand Out Materi Kuliah Ilmu
Perbandingan Agama
Taher. Elza Peldi, 2009, Merayakan
Kebebasan Beragama Bunga Rampai 70 Tahun Djohan Effendi, Jakarta : ICRP dan
Kompas.
[1] M.
Amin, Abdullah. 2008. Kata Pengantar:
Hubungan Antar Agama, Hubungan Antar Umat
Beragama, dan Hubungan Sosial Antar Umat Beragama, dalam Equality and Plurality Dalam Konteks Hubungan Antar Umat Beragama.
Yogyakarta : sukses Offset, hal : vii
[2] Ibid, hal : vii
[3]
Azyumardi, Azra. 2008. Eksplorasi Atas
Isu-Isu Kesetaraan Dan Kemajmukan : Hubungan
Antar Agama, dalam ibid, hal : 35
[4]
Frans, Magnis Suseno. 2008. Memahami
Hubungan Antar Agama Di Indonesia, dalam ibid : hal 16
[5]
Azyumaardi, Azra. Op-cit : 40-41
[6]
Noorhaidi, Hasan. 2009. Multikulturalisme
DanTtantangan Radikalisme, dalam Merayakan
Kebebasan Beragama Bunga Rampai Menyambut 70 Tahun Djhan Effendi. Jakarta :
ICRP dan Kompas Buku, hal : 199
No comments:
Post a Comment