Monday, May 7, 2012

Masa Depan Kehidupan Keberagamaan Di Indonesia


Dalam konteks keIndonesiaan, sebagai bangsa majmuk yang terdiri dari beragam agama, bahasa, ras, etnis, Indonesia tidak pernah luput dari ancaman perpecahan dan konflik yang bernuansa primordial.  Intensitas konflik yang terjadi bergerak paralel dengan menguatnya simbol-simbol dan identitas keagamaan di masyarakat. Keberadaan agama dalam bingkai pluralitas menjadikan sentimen eksklusivitas keagamaan diantara penganut agama di negara ini menjadi semakin menguat.
Sebagai sebuah negara yang mengakui keberadaan banyak agama (Islam, Kristen, Hindu, Budha, Katolik, dan Kong Hu Cu) kesetaraan dalam hubungan antar agama (meminjam istilah Azyumardi Azra) tersebut menjadi soal penting yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Isu tentang kesetaraan dalam hubungan beragama dalam masyarakat plural harus mendapatkan perhatian lebih, agar keragaman agama tidak justru menjadi “bensin” pemompa konflik  di masyarakat. Ketika keragaman agama dengan segudang perbedaan di dalamnya tidak mampu diposisikan sebagai “anugerah” dan memunculkan kesepahaman bersama dikalangan penganut agama, maka masa depan keberagamaan di negara ini berada pada titik nadir kehancuran.
Dan ini tentunya adalah ancaman besar bagi keberlangsungan kehidupan keberagamaan di negara ini, karena masayarakat sebagai penganut agama, akan semakin terjerumus ke jurang perbedaan.
Membaca masa depan keberagamaan di Indonesia tentunya harus diawali dengan membangun pemahaman atas realita keberagamaan yang terjadi hari ini. Kemampuan menemukan akar permasalahan dari carut marutnya pemandangn keberagamaan hari ini adalah landasan yang kuat untuk menciptakan sebuah analisa obyektif tentang keberlangsungan kehidupan beragama di masa depan. Salah satu akar pesoalan yang berposisi signifikan adalah pada adanya miss communication dan tidak adanya mutual understanding yang terbangun diantara kelompok-kelompok agama yang tertebar di negara ini.
Berbicara tentang masa depan kehidupan keberagamaan di Indonesia maka tidak bisa dilepaskan dari analisis seputar kemajmukan (pluralitas) agama di negara ini. Sebagai negara yang mengakui keberadaan banyak agama, maka yang menjadi penting untuk diperhatikan adalah pada wilayah “hubungan antar agama” yang ada di Indonesia. Karena bila wilayah ini luput dari perhatian, maka keberagamaan di Indonesia (terlebih dengan balutan pluralitas) akan menjadi ancaman besar bagi keberlangsungan hidup beragama. Ancaman yang paling nyata adalah pada kemunculan konflik berkedokkan agama ditengah masyarakat. Ancaman lainnya adalah pada penistaan keberadaan agama, dimana agama yang seharusnya mampu menciptakan harmonisasi kehidupan justru terjebak menjadi alasan utama terjadinya konflik. Hal ini bisa memiliki efek bias pada sikap manusia (masyarakat) dalam memandang keberadaan agama. Kemungkinan munculnya sikap “apatis” masyarakat terhadap agama adalah menjadi salah satu ancaman yang tidak bisa dinisbikan kemungkianannya. Apalagi semakin kencanganya arus sekularisasi yang masuk ke lerung-lerung kehidupan masyarakat.
Mengelola Hubungan Antar Agama: Menuju Kesetaraan Beragama dalam Bingkai Kemajmukan.  
Istilah Hubungan Antar Agama (HAA) telah menimbulkan beragam pertanyaan. Sebagaian kalanagan ada yang mendukung dan tidak sedikit yang keberatan. Bagi yang keberatan dengan istilah ini biasanya mempertanyakan “yang berhubungan itu umat, orang yang beragama, atau agamanya? Yang aktif dan dinamis itu kan orangnya bukan agama yang benda mati itu?” Bagi yang keberatan dengan istilah HAA akan lebih sreg untuk menambahkan kata “umat ber-“ menjadi Hubungan antar Umat Beragama[1].         
Meski sudah ada tambahan “umat ber-“ masih ada sebagian masyarakat yang merasa tidak nyaman dengan istilah Hubungan Antar Umat Beragama. Mereka berpandangan bahwa hubungan antar umat berbagai agama tersebut seyogyanya hanya dilakukan pada dataran sosial-kemanusiaan. Lebih dari itu, hubungan dalam konteks teologis atau ritual misalanya, hanya akan mengantarkan praktek sinkretisme yang pada gilirannya akan merusak autentisitas masing-masing agama.[2] sehingga kelompok ini cenderung mengkritik adanya even-even keagamaan yang sifatnya kolektif. Sehingga ada tawaran istilah menjadi “Hubungan Sosial Antara Umat Beragama”.
Fakta perdebatan ini menunjukkan adanya sentimen keberagaman berlebih (taqlid buta) yang menghinggapi masing-masing umat beragama. Sentimen keberagamaan berlebih semacam ini cenderung dilihat sebagai hasil produksi dari  adanya intervensi postulat keagamaan yang diterima dan dipahami oleh penganut agama. Pemahaman seperti ini akan menghantarkan manusia untuk bersikap eksklusif dalam beragama. Padahal hubungan antar agama tidak murni dipengaruhi oleh ajaran keagamaan semata, namun juga disatu sisi dipengaruhi oleh kondisi sosio-politik-kultural masyarakat.  
Lebih lanjut, seturut dengan apa yang disitir oleh Azyumardi Azra bahwa hubungan antar agama itu tidak hanya ditentukan oleh pelbagai pengajaran keagamaan, namun juga dipengaruhi oleh beberapa faktor utama kehiduapn yang mempengaruhi sikap masa bodoh masyarakat atas agama mereka, seperti: taraf ekonomi, tingkat pendidikan, akses dan posisi dalam kekuasaan politik, kesukuan, latar belakang budaya, gender, kebangsaan, geografi dan sejarah[3].    
Ada “cacat paradigma” yang selama ini berkembang dalam usaha membangun hubungan beragama (baca: hubungan antar agama) dalam bingkai pluralitas. Pluralitas yang seharusnya mensyaratkan adanya pemahaman tentang konsep multikulturalisme justru ternisbikan oleh fanatime buta beragama yang melhirkan sikap eksklusif dan truth claim di pihak masing-masing agama. suasana seperti ini tentunya semakin memperkeruh hubungan antar agama di negara ini yang seharusnya sudah mencapai titik harmoni. Isu kesetaraan dalam hubungan antar agama terasa makin jauh panggang dari api bila melihat fakta klaim-kaliman antara Islam dan Kristen misalnya.
Dalam hubungan masyarakat Kristen dan Musmlim di Indonesia masih selalu ada kecurigaan dan prasangka mendalam di benak masing-masing kedua masyarakat ini. Muslim di Indonesia curiga tentang niat orang Kristen karena agama Kristen datang melalui penjajahan. Kecurigaan ini semakin dikuatkan kembali dengan adanya usaha perekrutan pemeluk baru yang dilakukan secara sembrono oleh sekte-sekte Kristen tertentu. Pada sisi lain, orang Kristen curiga bahwa jika kaum Muslim “yang memegang teguh agamanya” memiliki kekuasaan, mereka akan mengekang kebebasan keberagamaan mereka (orang Kristen).[4]    
Dalam pengalaman lain, ketegangan kedua agama berlangsung pada perbedaan perspektif mengenai usaha pembangunan hubungan antara agama yang sehat dan terjadinya pengrusakan hubungan tersebut yang di kalim dilakukan oleh salah satu golongan. Dalam perspektif seorang Muslim, hubungan antar agama yang sehat itu sering dirusak oleh adanya Kristenisasi secara Agresif atau program penyebaran Injil dan aktifitas-aktifitas yang langsung di arahkan pada kaum Muslim. Bahkan, kaum Muslimin sangat mencurigai bahwa kaum Kristiani terus berupaya mengalihkan agama kaum Muslim menjadi pemeluk Kristen dengan memberikan pemahaman yang tidak adil bagi kaum Muslimin; memanfaatkan kelemahan kaum Muslimin di Bidang ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan yang lain. Demikian juga, para missionaris kristen dan para penyebar Injil percaya bahwa terdapat banyak batasan yang dituntut bagi kaum Kristiani yang menyulitkan mereka, tidak hanya untuk berdakwah tapi juga untuk melaksanakan ajaran kristiani.[5]   
Disatu sisi, yang tidak disadari adalah bahwasanya pemahaman atas konsep multikulturalisme dalam kehidupan plural harus diutamakan, untuk tidak mengatakannya mutlak, karena konsep multikulturalisme akan menuntun kita untuk dapat menghargai perbedaan (keyakinan) serta memberikan manusia kepahaman bersama bahwa perbedaan adalah sebuah anugerah. Dan tentunya itu adalah bagian dari ajaran agama. Bila hal ini sudah tertanam dalam kesadaran masing-masing penganut agama di negeri ini, maka kesetaraan dalam hubungan agama akan semakin dekat untuk didapatkan, dan tentunya pemandangan keberagamaan di negara ini tidak akan secarut-marut akhir-akhir ini. 
Pada hakikatnya, konsep Multikulturalisme merupakan mekanisme kerjasama dan reciprocity (saling memberi) dengan mana setiap individu dan komponen masyarakat sanggup memberikan tempat, menenggang perbedaan bahkan membantu individu dan komponen lainnya yang ada di dalam masyarakat. nilai-nilai toleransi, keterbukaan, inklusivitas, kerjasama dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia merupakan prinsip dasar multikulturalisme.[6]
Kebutuhan untuk menciptakan sebuah hubungan antar agama yang sehat dan penuh kedamaian di Indonesia akan sangat tergantung pada adanya kesadaran mengeni beberapa konsep keberagamaan diatas. Tiap kelompok keagamaan harus mampu meperkenalkan anggotanya akan pentingnya menumbuhkan adanya rasa saling pengertian (mutual understanding) dan doktrinasi-doktrinasi serta praktek-praktek keagamaan yang berbasis pada pemahaman terhadap (salah satunya) konsep multikulturalisme. Adanya keselarasan penafsiran ajaran keagamaan dengan prinsip multikulturalisme akan mampu mengurangi persepsi streotip dan pemahaman bias. Serta  akan menghasilkan sebuah rasa hormat dan toleransi beragama yang saling menguntungkan. Bila demikian adanya, maka telah sepantansnya kita kembali membangun rasa percaya dan optimise akan masa depan keberlangsungan kehidupan beragama di negeri ini, dengan cara dan wajah yang lebih baik.



Daptar Bacaan
Abduh. M. Rifa`i (Ed), 2008, Equality And Plurality Dalam Konteks Hubungan Antar Agama, Yogyakarta : Sukses Offset
Andang. Al, 2009, Agama Yang Berpijak Dan Berpihak, Yogyakarta : Kanisius
Damami. Moh, 2011, Hand Out Materi Kuliah Ilmu Perbandingan Agama
Taher. Elza Peldi, 2009, Merayakan Kebebasan Beragama Bunga Rampai 70 Tahun Djohan Effendi, Jakarta : ICRP dan Kompas.   




[1] M. Amin, Abdullah. 2008. Kata Pengantar: Hubungan Antar Agama, Hubungan Antar Umat Beragama, dan Hubungan Sosial Antar Umat Beragama, dalam Equality and Plurality Dalam Konteks Hubungan Antar Umat Beragama. Yogyakarta : sukses Offset, hal : vii
[2] Ibid, hal : vii
[3] Azyumardi, Azra. 2008. Eksplorasi Atas Isu-Isu Kesetaraan Dan Kemajmukan : Hubungan Antar Agama, dalam ibid, hal : 35
[4] Frans, Magnis Suseno. 2008. Memahami Hubungan Antar Agama Di Indonesia, dalam ibid : hal 16
[5] Azyumaardi, Azra. Op-cit : 40-41
[6] Noorhaidi, Hasan. 2009. Multikulturalisme DanTtantangan Radikalisme, dalam Merayakan Kebebasan Beragama Bunga Rampai Menyambut 70 Tahun Djhan Effendi. Jakarta : ICRP dan Kompas Buku, hal : 199 

No comments:

Post a Comment