Monday, May 7, 2012

OBYEKTIVASI BENTUK AGAMA DALAM MASYARAKAT


Agama merupakan suatu sistem keyakinan yang dianut dan tindakan-tindakan yang diwujudkan oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam menginterpretasi dan memberi respons terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai yang gaib dan suci[1]. Sebagai suatu keyakinan, agama memiliki ciri yakni berlandaskan pada dua konsep, yakni konsep suci (sacred) dan konsep duniawi (profan).
Ditinjau dari aspek historis, perkembangan kajian agama (sosiologi agama) dapat dilihat dalam tiga tahap periode, yakni periode klasik, periode modern, dan periode post-modern. Pada periode klasik sosiologi agama bermula dari sosiologi Kristiani yang kental dengan dua muatan konsep keagamaan diatas. Sehingga pada periode ini agama dapat dikatakan memiliki dua bentuk, yakni agama Organik (baca: sistem organik) dan agama Gereja (baca: sistem gereja). Sistem Organik merupakan konsepsi keagamaan yang tidak membedakan atau mengkaitkan antara urusan keagamaan dengan urusan duniawi. Sementara sistem Gereja adalah konsep keagamaan yang memebedakan antara yang suci (sacred) dan yang duniawi (profane).
Pada periode ini, teori sosiologi yang domain adalah teori Positivistik (aliran positivisme/reduksionisme). Teori positivistik dipelopori oleh seorang sosiolog Prancis yakni Emile Durkheim. Teori ini mengatakan  bahwa agama itu identik dengan norma-norma sosial yang melekat pada peranata sosial. Peranata sosial sendiri dikatakannya bersumber pada alam.
Dalam teori positivistik, segala yang ada itu adalah semua yang dapat diobservasi dan didatangkan buktinya secara empirik. Sehingga segala sesuatau yang dikatakan atau diyakini ada haruslah berbentuk materi. Dan begitu juga dengan agama bila dilihat dari perspektif teori ini maka agama haruslah apa yang dapat dilihat dan dapat dibuktikan secara empirik. Maka tak heran bila melihat pandangan Durkheim-sebagai penganut aliran positivisme-mengenai agama yang melihat agama lahir dari kepercayaan-kepercayaan manusia terhadap benda-benda yang dianggapnya memiliki kekuatan mistik. Secara lebih khusus Durkheim menamakan agama ini sebagai agama Primitif.
Agama primitif lahir atas dasar adanya kepercayaan manusia (pada waktu itu) terhadap adanya kekuatan-kekuatan mistis yang dimiliki atau yang melekat pada benda-benda atau hewan-hewan yang melekat dengan alam sekitar. Sehingga teori positivistik mensyaratkan bahwa fakta agama haruslah konkret.  Benda-benda yang dianggap memiliki kekuatan mistis  itu kemudian di sakralkan atau disucikan (sacred). Benda-benda yang dipercaya berkekuatan mistis tadi kemudian dikatakan Durkheim sebagai Totem (totemisme). Totem secara terminologis merupakan penuhanan oleh manusia terhadap benda-benda atau hewan-hewan yang dianggap memiliki kekuatan mistis dan melekat pada dunia.  
Peranata sosial-yang agama identik didalamnya-merupakan aneka ragam norma-norma yang mengatur hidup manusia. Peranata sosial dapat meliputi budaya, social, ekonomi, politik, dsb. Yang pada perjalanannya peranata sosial membentuk dua bentuk  solidaritas, yakni solidaritas mekanik dan solidaritas organik. Solidaritas mekanik adalah ikatan persahabatan yang terjalin atas dasar landasan keseragaman. Sementara solidaritas organik merupakan tautan persahabatan yang berlandaskan pada peran dan fungsi manusia yang berbeda namun tetap memiliki sikap solider. Dari diferensiasi dua bentuk soilidaritas diatas, maka dapat dikatakan bahwa solidaritas mekanik dapat ditemukan pada masyarakat yang masih berkultur tradisional atau primitif, sementara solidaritas organis akan dapat ditemukan pada masyarakat yang menetap di perkotaan atau sudah berkultur modern.
Agama (peranata sosial) memiliki fungsi menjadi pedoman hidup bersama, alat pemersatu kehidupan bersama, dan sebagai pengendali sosial atau kontrol sosial bagi tindakan-tindakan para anggota masyarakat agar tetap berjalan sesuai dengan nilai-nilai yang diajarkan oleh agama yang dipercayainya. Hal ini mengharuskan para anggota masyarakat untuk melakukan penyesuaian norma (adaptasi) pada nilai-nilai kebudayaan dan ajaran-ajaran keagamaan yang mereka percayai. Bila individu atau kelompok individu (masyarakat) mendapatkan kegagalan (anomali) pada proses adaptasi diatas, maka konsekuensinya adalah berujung pada apa yang disebut Durkheim sebagai disintegrasi sosial atau bunuh diri sosial (sucide).
Sucide dapat dikelompokkan mejadi tiga kategori, yakni sucide eogistik, sucide atroistik, dan sucide anomik. Sucide egoistik adalah tindakan bunuh diri sosial yang dilakukan individu atau kelompok individu karena tidak mampu mengatasi persoalan-persoalan kesulitan hidup yang mengantarkannnya pada rasa putus asa. Sucide atroistik merupakan tindakan bunuh diri sosial yang dilakukan oleh individu atau kelompok individu karena adanya doktrin ajaran yang melekat dalam dirinya. Dan sucide anomik adalah tindakan bunuh diri sosial oleh individu atau kelompok individu yang disebabkan oleh belum adanya kepastian norma atau kegagalannya dalam proses adaptasi dengan noram-norma tempat individu atau kelompok individu tersebut menetap.
Pada periode modern, teori yang determinan adalah teori Idealisme. Teori ini dipelopori oleh seorang sosiolog Jerman yakni Max Weber. Teori idealisme melihat agama sebagai sebuah kesadaran internal yang bersifat subyektif. Analisis kemanusiaan pada era ini lebih menekankan pada kepentingan-kepentingan ekonomi (etika ekonomi) keagamaan.
            Istilah “etika ekonomi’ mengacu pada impuls-impuls praktis bagi tindakan yang dikembangkan dalam konteks psikologikal dan pragmatik dari agama. Tidak ada etika ekonomi yang semata-mata ditentukan oleh agama. Aspek sikap manusia terhadap dunia sebagaimana ditentukan oleh faktor-faktor “dalam” agama, atau faktor-faktor geografi ekonomi tertentu, dan sejarah menetukan ukkuran otonomi ini pada tingkat yang tertinggi. Aspek keagamaan dari prilaku kehidupan, bagaimanapun, hanya salah satu dari faktor-faktor penentu etika ekonomi. Tentu saja, cara hidup yang ditentukan oleh agama dipengaruhi oleh faktor ekonomi dna politik yang bekerja dalam batas-batas geografis, politis, sosial, dan nasional[2].  
Teori idealistik mensyaratkan pemahaman agama dengan melihat pada proses tindakan sosial sesorang individu. Karena bagi aliran idealistik, bahwasanya dalam memahami sebuah sistem (baca : agama) tidak dapat dilakukan hanya dengan melihat pada pranata agama itu secara langsung, namun harus diadakan penelitian langsung terhadap individu yang menjalani sistem tersebut.
Bagi Weber, setiap tindakan sosial pasti memiliki motif-motif tindakan. Motif-motof tindakan dalam konteks keagamaan dapat dikatakan merupakan etika (ethos), dan motif-motif tidakan tersebut dapat dilihat pada bebrapa hal, diantaranya: 1). Fokus agama  berdasarakan pada kesadaran etis (ethos). Kesadaran ini bersifat subyektif dan terletak pada soscial action (tindakan sosial) yang bertujuan untuk keselamtan. 2). Metode pemahaman agama dengan cara interpretasi. Metode ini dilakukan dengan cara menafsirkan obyek-obyek penelitian (individu dan agama) yang hasilnya tidak harus empirik tapi dapat bersifat abstrak. 3). Asetisme. Asetisme adalah faktor pendukung social action untuk mencapai keselamtan. Asetisme bersifat mencegah terhadap nafsu duniawi tapi tidak menolak secara mutlak terhadap kehidupan duniawi (zuhud).
 Karena teori idealistik tidak hanya meneliti aspek-aspek supranatural-dalam hal ini agama- tapi lebih memprioritaskan pemahaman terhadap tindakan sosial individu, maka dalam perspektifnya, teori ini berpandangan bahwa individu memiliki kekuatan-kekuatan yang dapat menyebabkannya mampu untuk merubah sistem dalam masyarakat. Diantara kekuatan-kekutan tersebut adalah : kekuatan kharismatis, kekuatan otoritatif, dan kekuatan rasionalistik. Kekuatan Kharismatis, kekuatan ini berada pada wilayah masyarakat religious. Kharisma merupakan suatu kemampuan khusus yang melekat pada diri seseorang dan merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa. Kekuatan Otoritatif, kekuatan ini berorientasi pada masyarakat tradisional. Wewenang ini tidak datang dari wahyu sebagaimana wewenang kharismatis, melainkan dapat dimiliki oleh orang yang memiliki kekuasaan dalam masyarakat, yang kekuasaannya itu diakui oleh msyarakat. Kekuatan Rasionalistik, kekuatan ini merupakan kekuatan yang berdasarkan pada hukum dan kaidah-kaidah yang berlaku dan diakui oleh masyarakat, bahkan cenderung dirasuki oleh campur tangan negara. Kekuatan ini dapat berkembang dikalangan masyarakat modern.
Sementara pada periode post-modern kajian sosiologi bercirikan adanya penolakan terhadap teori-teori sosiologi modern, ditambah lagi dengan adanya kritik dari aliran “teori sosial ktiris” mazhab Frankfurt.  Diantara kritik yang dilontarkan oleh aliran kritis mazhab Frankfurt, diantaranya[3] :
1.      Teori sosial kritis berlawanan dengan positivisme. Teori ini beranggapan bahwa pengetahuan bukan semata-mata refleksi atas dunia statis “diluar sana”. Namun dia adalah konstruksi aktif oleh ilmuwan dan teori yang membuat asumsi tertentu tentang dunia yang mereka pelajari sehingga tidak sepenuhnya bebas nilai. Lebih jauh, teori sosial kritis berlawanan dengan pandangan positivis yang menyatakan bahwa sains harus menjealaskan hukum alam masyarakat. Sebaliknya, teori sosial kritis percaya bahwa masyarakat ditandai oleh historisitas (terus mengalami perubahan).
2.      Teori sosial kritis membedakan masa lalu dan masa kini, yang secara umum ditandai oleh dominasi, eksploitasi, dan penindasan.
3.      Teori sosial kritis berpandangan bahwa dominasi bersifat struktural. Yakni kehidupan masyarakat sehari-hari dipengaruhi oleh institusi sosial yang lebih besar sperti politik, ekonomi, budaya, diskurus, gender, dan ras.
4.      Teroi sosial kritis berkeyakinan bahwa struktur dominasi diproduksi melalui kesadaran palsu manusia. Hal ini dilanggengkan oleh ideologi Marx, reifikasi Georg Lukacs, hegemoni Antonio Gramsci, pemikiran satu dimensi Marcuse, dan metafisika keberadaan Derrida. Kini kesadaran palsu itu dipelihara oleh ilmu sosial positivis dan sosiologi yang menggambarkan masyarakat sebagai entitas yang dikendalikan oleh hukum kaku.
5.      Teori sosial kritis berkeyakinan bahwa perubahan sosial dimulai dari rumah, pada kehidupan sehari-hari manusia, seprti seksualitas, peran keluarga, dan tempat kerja.
6.      Teori sosial kritis menggambarkan hubungna antara struktur dan manusia secara dialektis.
7.      Teori sosial kritis berlawanan dengan pernyataan bahwa kemajuan akhir terletak pada ujung jalan panjang yang hanya dapat dilewati dengan mengorbankan kebebasan dan kemerdekaan manusia.  
Tokoh sosiologi yang domain pada masa ini adalah Peter L. Berger dan Talcott Parsons. Kedua tokoh sosiologi ini mencoba mensinergikan atau menggabungkan kedua tokoh teori sosiologi kalsik yang bertentangan yakni Emile Durkheim dan Max Weber atau yang dikenal dengan istilah teori Sintesis. Baiklah, kita awali dengan analisis seputar perspektif Berger dalam dunia sosiologi agama.
Dalam perspektif Berger, masyarakat adalah fenomena dialektik dalam pengertian bahwa masyarakat adalah suatu produk manusia, yang akan selal memberi timbala balik kepada produsernya. Masyarakat tidak memiliki bentuk alin kecuali bentuk yang telah diberikan kepadanya oleh aktivitas dan kesadaran manusia. Namun realitas sosial tidak tak terpisah dari manusia, sehingga dapat dipastikan bahwa manusia adalah suatu produk masyarakat. Masyarakat sudah ada sebelum individu dilahirkan dan masih akan ada sesudah individu mati. Lebih dari itu, didalam masyarakatlah individu menjadi sebuah pribadi dan melaksaakan berbagai proyek yang menjadi bagian dari kehidupannya.
Dalam pandangan sintesanya, Berger menyatakan dialektik fundamental dari masyarakat terdiri dari tiga momentum, yaitu eksternalisasi, obyektivasi, dan internalisasi. Eksternalisasi adalah kecurahan kedirian manusia secara terus-menerus ke dalam dunia, baik dalam aktivitas fisis maupaun mentalnya. Obyektivasi adalah disandangnya produk-produk aktivitas itu (baik fisis maupun mental), suatu realitas yang berhadapan dengan para produsernya semula, dalam bentuk  suatu kefaktaan (faktisitas) yang eksternal terhadap dan lain dari para produser itu sendiri. Internalisasi adalah peresapan kembali realitas tersebut oleh manusia, dan mentransformasikannya sekali lagi dari struktur-struktur dunia obyektif ke dalam struktur-dtruktur kesadaran subyektif. Melalui eksternalisasi, maka masyarakat merupakan produk manusia (lebih ke Weber). Melalui obyektivasi, maka masyarakat menjadi realitas sui generis, unik. Dan melalui inernalisasi, maka manusia merupakan produk masyarakat (lebih ke Durkheim)[4].       
Ekternalisasi merupakan keharusan kebudayaan (antropologis) manusia, obyektivasi merupakan apa yang diperoleh sebagai produk-produk kultural manusia baik yang bersifat material maupun non material, dan internalisasi mengisyaratkan faktisitas obyektif juga menjadi faktisitas subyektif. Karena kebudayaan dibentuk oleh pengalaman manusia atau dengan kata lain kebudayaan terdiri dari totalitas produk-produk manusia, maka dapat dikatakan bahwa dunia sosial (nomos) merupakan dunia yang dibangun secara sosial dan merupakan suatu penataan pengalaman. Dan begitu juga halnya dengan agama.
Bagi Berger agama merupakan suatu usaha manusia untuk membentuk suatu kosmos keramat. Dengan kata lain agama adalah suatu kosmisasi dalam suatu cara yang sakral (keramat). Keramat dimaksudkan sebagai suatu kualitas kekuasaan yang misterius dan menakjubkan, bukan dari manusia  melainkan berkaitan dengan apa yang diyakini berada dalam obyek-obyek pengalaman tertentu. Kualitas ini dapat disandangkan pada obyek-obyek alami atau arfiliasi, pada binatang atau manusia. Ada batu keramat, peralatan keramat, sapi keramat, dan lain sebagainya yang keramat-keramat. Yang pada akhirnya kualitas tersebut dapat dibentuk dalam makhluk-makhluk keramat, dari roh-roh lokal sampai dewa-dewa langit yang tertinggi, yang pada gilirannya, mungkin berubah bentuk menjadi kekuatan-kekuatan atau asas-asas yang mengatur kosmos, dan tidak lagi dibayangkan dalam kerangka personal melainkan masih mengandung status kekeramtan. Yang keramat itu difahami sebagi “menyeruak” dari rutinitas normal kehidupan sehari-sehari, sebagai sesuatu yang luar biasa. Meskipun yang keramat itu difahami sebagai bukan manusia, namun acuannya kepada manusia. Kosmos yang ditegakkan oleh agama itu untuk mengatasi (transcend) dan juga meliputi manusia. Kosmos yang keramat itu dihadapi oleh manusia sebagai suatu realitas yang sangat berkuasa yang bukan dari dirinya sendiri. Namun realitas itu tertuju pada diri manusia dan menempatkan kehidupan manusia dalam suatu tatanan yang bermakna[5].  
    Sementara Talcott Parsons melihat agama sebagai sesuatu yang melekat pada sistem dan struktur sosial dan penafsiran masing-masing individu, atau yang dikenal dengan Religiusitas. Religiusitas berakar pada kesadaran individu dan kesadaran kolektif.
Pendekatan Parsons lebih dekat pada pendekatan yang digunakan Weber, yakni dengan melakukan pemahaman atau interpretasi atas tindakan sosial individu. Karena inti tindakan sosial bagi Parsons adalah adanya tujuan dan sebagai alat individu untuk bertindak dalam sebuah situasi sosial agama setempat. 
Pendekatan sisntesis Parsons dan Berger dapat dilihat dalam teori Dualistik Positivisme. Dualistik positivisme melihat masyarakat dan individu terbentuk secara sendiri-sendiri secara sekaligus. Dualistik positivisme adalah bentuk sinergitas dari teori obyektifisme Emile Durkheim dan teori subyektifisme Max Weber.
Baiklah, kini kita masuk pada pembicaraan seputar fungsi-fungsi sosial agama dan identifiksi sosiologis agama. Fungsi-fungsi sosial agama diantaranya : 1). Fungsi Ganda, fungsi ini dapat mengahsilkan efek positip dan negatif. Positifnya adalah agama dapat membentuk persaudaraan yang lebih erat diantara pemeluk-pemeluknya (integrasi), dan dampak negatifnya adalah agama dapat membentuk konflik diantara penganut-penganutnya. Konflik agama dapat berbentuk konflik teologi, konflik ekonomi-politik (agama tampil untuk menjstifikasi), konflik kpentingan subyektif, dan konflik norma-norma lokal. 2). Fungsi pembentukan dunia, agama menempati tempat tersendiri dalam usaha pembentukan dunia, namun dapat ditemukan pada tiga ddialektik fundamental masyarakat-seperti yang sudah dijelaskan diatas- yakni internalisasi, eksternalisasi, dan obyektivasi.  3). Fungsi transformatif, agama dapat mengubah hakikat sesuatu menjadi sesuatu yang baru. 4). Fungsi kontrol sosial, dalam hal ini agama berfungsi menyaring nilai-nilai yang ada dan kemudian para pengikutnya bersikap sesuai dengan nilai-nilai yang sudah dipilih. 5). Fungsi kritik atau nubuwah, agama mampu mengkritisi kekurangan-kekurangan dunia sosial melalui perspektif agamis. 6). Fungsi stratifikasi sosial, agama lahir karena adanya penghargaan orang terhadap suatu niali. 7). Fungsi pembentukan, agama menagmbil tempat sebuah ideologi.
Identifikasi sosiologis agama atau cara mengenali tanda-tanda adanya agama, diantaranya : a). Agama sebgai pengalaman pribadi (subyektif); kepercayaan manusia kepada hal-hala yang supranatural (mitos, kosmos,dsb). b). Agama sebagai masyarakat (komunitas); agama dapat berbentuk comunity (sektoral) dan socity (universal). c). Agama sebagai peranata sosial; agama sebagai norma-norma yang dapat menjadi pedoman, pemersatu, dan pengontrol kehidupan. d). Agama sebagai ritual; tatkala agama sangat nampak dalam proses-prose ibadah atau upacara. e.) agama sebagai ideologi.
Kemudian yang terakhir adalah analisis sosial terhadap agama. Ada lima pendekatan yang dapat digunakan dalam menganalisa agama melalui perspektif sosial, diantaranya : pertama, pendekatan struktural-fungsional. Pendekatan struktural fungsional pendekatan ini mengatakan bahwa agama memiliki norma-norma yang kuat (konformitas), dan bercirikan stabil, tidak ada perubahan (statis), organik, dan adanya equilibrium (keseimbangan). Kedua, pendekatan konflik marxian-struktural (non marxian).  Pendekatan konflik marxian dikenal sebagai konflik vertikal yakni adanya kelas-kelas sosial (kelas kuasa dan kelas yang dikuasai) dalam masyarakat, sementara pendekatan non marxian dikenal sebagai konflik horizontal yakni adanya kepentingan-kepentingan kelopmpok dalam masyarakat.
Ketiga, pendekatan posmo dan kritik sosial. pendekatan ini melihat adanya dominasi dan hegemoni dalam masyarakat, dan bercirikan adanya kharismatik, adanya proses dominasi dan hegemonni, serta mengajak kearah pemebebasan (empowering/libration). Keempat, pendekatan interpretasi-hermenuitik.  Pendekatan interpretatif- hermenuiti melihat pada persoalan yang nyata (manifest) dan laten (fkta). Kelima, pendekatan sintesis-dialektis. Sebagaimana telah dijelaskan diatas mengenai teori sintesis, bahwa pendekatan ini dipelopori oleh Tlacott Parsons dan Peter L berger. Parsons menekankan pandangannya pada persoalan tindakan sosial sementara Berger menekankan pandangannya pada persoalan mitos. Pendekatan sintesis-dialektis melihat individu tidak dapat terpisahkan dari sistem dan struktur sosial, sehingga hal ini lah yang dalam pandangan sintesa berfungsi membentuk agama (religiusitas). Secara definitif, Religiusitas sendiri merupakan agama sebagai hasil dari produksi sosial (sistem dan struktu sosial).     
  








DAPTAR BACAAN
Agger, Ben. 2009. Teori Sosial Kritis Kritik, Penerapan Dan Implikasinya. Yogyakarta : Kreasi Wacana.
Berger, Peter L. 1991. Langit Suci Agama Sebagai Realitas Sosial. Jakarta : LP3ES
Robertson, Roland (ed). 1993. Agama Dalam Analisa Dan Interpretasi Sosiologis. Jakarta : RajaGrafindo Persada.  


        
          
           
           











[1] Roland. Robertson,  Agama Dalam Analisa Dan Interpretasi Sosiologis, Jakarta, RajaGrafindo Persada, 1993. hlm  : v-vi
[2] Ibid, hlm : 5-6
[3] Ben. Agger, Teori Sosial Kritis Kritik, Penerapan Dan Implikasinya, Yogyakarta : Kreasi Wacana, 2009. hlm : 7-10
[4] Peter L. Berger, Langit Suci Agama Sebagai Realitas Sosial, Jakarta : LP3ES, 1991. hlm : 3-5
[5] Ibid. hlm : 32-33

No comments:

Post a Comment