Agama merupakan suatu sistem keyakinan yang dianut dan
tindakan-tindakan yang diwujudkan oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam
menginterpretasi dan memberi respons terhadap apa yang dirasakan dan diyakini
sebagai yang gaib dan suci[1].
Sebagai suatu keyakinan, agama memiliki ciri yakni berlandaskan pada dua
konsep, yakni konsep suci (sacred)
dan konsep duniawi (profan).
Ditinjau dari aspek historis, perkembangan kajian agama (sosiologi
agama) dapat dilihat dalam tiga tahap periode, yakni periode klasik, periode
modern, dan periode post-modern. Pada periode
klasik sosiologi agama bermula dari sosiologi Kristiani yang kental dengan dua muatan konsep keagamaan diatas.
Sehingga pada periode ini agama dapat dikatakan memiliki dua bentuk, yakni
agama Organik (baca: sistem organik)
dan agama Gereja (baca: sistem
gereja). Sistem Organik merupakan konsepsi keagamaan yang tidak membedakan atau
mengkaitkan antara urusan keagamaan dengan urusan duniawi. Sementara sistem Gereja
adalah konsep keagamaan yang memebedakan antara yang suci (sacred) dan yang duniawi (profane).
Pada periode ini, teori sosiologi yang domain adalah
teori Positivistik (aliran positivisme/reduksionisme).
Teori positivistik
dipelopori
oleh seorang sosiolog Prancis yakni Emile Durkheim. Teori ini mengatakan bahwa agama itu identik dengan norma-norma sosial yang melekat pada peranata sosial. Peranata sosial sendiri dikatakannya bersumber pada alam.
Dalam teori positivistik, segala yang ada itu adalah semua
yang dapat diobservasi dan didatangkan buktinya secara empirik. Sehingga segala
sesuatau yang dikatakan atau diyakini ada haruslah berbentuk materi. Dan begitu juga dengan agama
bila dilihat dari perspektif teori ini maka agama haruslah apa yang dapat dilihat
dan dapat dibuktikan secara empirik. Maka tak heran bila melihat pandangan
Durkheim-sebagai penganut aliran positivisme-mengenai agama yang melihat agama
lahir dari kepercayaan-kepercayaan manusia terhadap benda-benda yang
dianggapnya memiliki kekuatan mistik. Secara lebih khusus Durkheim menamakan
agama ini sebagai agama Primitif.
Agama primitif
lahir atas dasar adanya
kepercayaan manusia (pada
waktu itu)
terhadap adanya kekuatan-kekuatan mistis yang dimiliki atau yang melekat
pada benda-benda atau hewan-hewan yang melekat dengan alam sekitar. Sehingga teori
positivistik
mensyaratkan bahwa fakta agama haruslah konkret. Benda-benda yang dianggap memiliki kekuatan
mistis itu kemudian di sakralkan atau
disucikan (sacred). Benda-benda yang dipercaya berkekuatan mistis tadi kemudian
dikatakan Durkheim sebagai Totem (totemisme).
Totem secara terminologis
merupakan penuhanan oleh manusia terhadap benda-benda atau
hewan-hewan yang dianggap memiliki kekuatan mistis dan melekat pada dunia.
Peranata sosial-yang agama identik didalamnya-merupakan
aneka ragam norma-norma yang mengatur hidup manusia. Peranata sosial dapat meliputi budaya, social,
ekonomi, politik, dsb. Yang pada
perjalanannya peranata sosial membentuk dua
bentuk solidaritas, yakni solidaritas mekanik dan solidaritas organik. Solidaritas mekanik adalah ikatan persahabatan yang
terjalin atas dasar landasan keseragaman. Sementara solidaritas organik
merupakan tautan persahabatan yang berlandaskan pada peran dan fungsi manusia
yang berbeda namun tetap memiliki sikap solider. Dari diferensiasi dua bentuk
soilidaritas diatas, maka dapat dikatakan bahwa solidaritas mekanik dapat
ditemukan pada masyarakat yang masih berkultur tradisional atau primitif,
sementara solidaritas organis akan dapat ditemukan pada masyarakat yang menetap
di perkotaan atau sudah berkultur modern.
Agama (peranata sosial) memiliki fungsi menjadi pedoman
hidup bersama, alat pemersatu kehidupan bersama, dan sebagai pengendali sosial
atau kontrol sosial bagi tindakan-tindakan para anggota masyarakat agar tetap
berjalan sesuai dengan nilai-nilai yang diajarkan oleh agama yang dipercayainya.
Hal ini mengharuskan para anggota masyarakat untuk melakukan penyesuaian norma
(adaptasi) pada nilai-nilai
kebudayaan dan ajaran-ajaran keagamaan yang mereka percayai. Bila individu atau
kelompok individu (masyarakat) mendapatkan kegagalan
(anomali) pada proses adaptasi diatas, maka konsekuensinya adalah berujung pada
apa yang disebut Durkheim sebagai disintegrasi sosial atau bunuh diri sosial (sucide).
Sucide dapat dikelompokkan mejadi tiga kategori, yakni
sucide eogistik, sucide atroistik, dan sucide anomik. Sucide egoistik adalah tindakan
bunuh diri sosial yang dilakukan individu atau kelompok individu karena tidak
mampu mengatasi persoalan-persoalan kesulitan hidup yang mengantarkannnya pada
rasa putus asa. Sucide atroistik merupakan tindakan bunuh diri sosial yang
dilakukan oleh individu atau kelompok individu karena adanya doktrin ajaran
yang melekat dalam dirinya. Dan sucide anomik adalah tindakan bunuh diri sosial
oleh individu atau kelompok individu yang disebabkan oleh belum adanya
kepastian norma atau kegagalannya dalam proses adaptasi dengan noram-norma
tempat individu atau kelompok individu tersebut menetap.
Pada periode modern,
teori yang determinan adalah teori Idealisme.
Teori ini dipelopori oleh seorang sosiolog Jerman yakni Max Weber. Teori
idealisme melihat agama sebagai sebuah kesadaran
internal yang bersifat subyektif. Analisis kemanusiaan pada era ini lebih
menekankan pada kepentingan-kepentingan ekonomi (etika ekonomi) keagamaan.
Istilah
“etika ekonomi’ mengacu pada impuls-impuls praktis bagi tindakan yang
dikembangkan dalam konteks psikologikal dan pragmatik dari agama. Tidak ada
etika ekonomi yang semata-mata ditentukan oleh agama. Aspek sikap manusia
terhadap dunia sebagaimana ditentukan oleh faktor-faktor “dalam” agama, atau
faktor-faktor geografi ekonomi tertentu, dan sejarah menetukan ukkuran otonomi
ini pada tingkat yang tertinggi. Aspek keagamaan dari prilaku kehidupan, bagaimanapun,
hanya salah satu dari faktor-faktor penentu etika ekonomi. Tentu saja, cara
hidup yang ditentukan oleh agama dipengaruhi oleh faktor ekonomi dna politik
yang bekerja dalam batas-batas geografis, politis, sosial, dan nasional[2].
Teori idealistik mensyaratkan pemahaman agama dengan
melihat pada proses tindakan sosial sesorang individu. Karena bagi aliran
idealistik, bahwasanya dalam memahami sebuah sistem (baca : agama) tidak dapat
dilakukan hanya dengan melihat pada pranata agama itu secara langsung, namun
harus diadakan penelitian langsung terhadap individu yang menjalani sistem
tersebut.
Bagi Weber, setiap tindakan sosial pasti memiliki
motif-motif tindakan. Motif-motof tindakan dalam konteks keagamaan dapat
dikatakan merupakan etika (ethos),
dan motif-motif tidakan tersebut dapat dilihat pada bebrapa hal, diantaranya:
1). Fokus agama berdasarakan pada kesadaran etis (ethos). Kesadaran ini
bersifat subyektif dan terletak pada soscial action (tindakan sosial) yang
bertujuan untuk keselamtan. 2).
Metode pemahaman agama dengan cara interpretasi. Metode ini dilakukan dengan
cara menafsirkan obyek-obyek penelitian (individu dan agama) yang hasilnya
tidak harus empirik tapi dapat bersifat abstrak. 3). Asetisme. Asetisme adalah
faktor pendukung social action untuk mencapai keselamtan. Asetisme bersifat
mencegah terhadap nafsu duniawi tapi tidak menolak secara mutlak terhadap
kehidupan duniawi (zuhud).
Karena teori
idealistik tidak hanya meneliti aspek-aspek supranatural-dalam hal ini agama-
tapi lebih memprioritaskan pemahaman terhadap tindakan sosial individu, maka
dalam perspektifnya, teori ini berpandangan bahwa individu memiliki
kekuatan-kekuatan yang dapat menyebabkannya mampu untuk merubah sistem dalam
masyarakat. Diantara kekuatan-kekutan tersebut adalah : kekuatan kharismatis,
kekuatan otoritatif, dan kekuatan rasionalistik. Kekuatan Kharismatis, kekuatan ini berada pada wilayah masyarakat religious. Kharisma merupakan suatu
kemampuan khusus yang melekat pada diri seseorang dan merupakan anugerah dari
Tuhan Yang Maha Esa. Kekuatan Otoritatif,
kekuatan ini berorientasi pada masyarakat tradisional.
Wewenang ini tidak datang dari wahyu sebagaimana wewenang kharismatis,
melainkan dapat dimiliki oleh orang yang memiliki kekuasaan dalam masyarakat, yang
kekuasaannya itu diakui oleh msyarakat. Kekuatan
Rasionalistik, kekuatan ini merupakan kekuatan yang berdasarkan pada hukum
dan kaidah-kaidah yang berlaku dan diakui oleh masyarakat, bahkan cenderung
dirasuki oleh campur tangan negara. Kekuatan ini dapat berkembang dikalangan
masyarakat modern.
Sementara pada periode
post-modern kajian sosiologi bercirikan adanya penolakan terhadap teori-teori
sosiologi modern, ditambah lagi dengan adanya kritik dari aliran “teori sosial
ktiris” mazhab Frankfurt. Diantara
kritik yang dilontarkan oleh aliran kritis mazhab Frankfurt, diantaranya[3]
:
1.
Teori sosial kritis
berlawanan dengan positivisme. Teori ini beranggapan bahwa pengetahuan bukan
semata-mata refleksi atas dunia statis “diluar sana”. Namun dia adalah konstruksi
aktif oleh ilmuwan dan teori yang membuat asumsi tertentu tentang dunia yang
mereka pelajari sehingga tidak sepenuhnya bebas nilai. Lebih jauh, teori sosial
kritis berlawanan dengan pandangan positivis yang menyatakan bahwa sains harus
menjealaskan hukum alam masyarakat. Sebaliknya, teori sosial kritis percaya
bahwa masyarakat ditandai oleh historisitas (terus mengalami perubahan).
2.
Teori sosial kritis
membedakan masa lalu dan masa kini, yang secara umum ditandai oleh dominasi,
eksploitasi, dan penindasan.
3.
Teori sosial kritis
berpandangan bahwa dominasi bersifat struktural. Yakni kehidupan masyarakat
sehari-hari dipengaruhi oleh institusi sosial yang lebih besar sperti politik,
ekonomi, budaya, diskurus, gender, dan ras.
4.
Teroi sosial kritis
berkeyakinan bahwa struktur dominasi diproduksi melalui kesadaran palsu
manusia. Hal ini dilanggengkan oleh ideologi Marx, reifikasi Georg Lukacs,
hegemoni Antonio Gramsci, pemikiran satu dimensi Marcuse, dan metafisika
keberadaan Derrida. Kini kesadaran palsu itu dipelihara oleh ilmu sosial
positivis dan sosiologi yang menggambarkan masyarakat sebagai entitas yang
dikendalikan oleh hukum kaku.
5.
Teori sosial kritis
berkeyakinan bahwa perubahan sosial dimulai dari rumah, pada kehidupan
sehari-hari manusia, seprti seksualitas, peran keluarga, dan tempat kerja.
6.
Teori sosial kritis
menggambarkan hubungna antara struktur dan manusia secara dialektis.
7.
Teori sosial kritis
berlawanan dengan pernyataan bahwa kemajuan akhir terletak pada ujung jalan
panjang yang hanya dapat dilewati dengan mengorbankan kebebasan dan kemerdekaan
manusia.
Tokoh sosiologi yang domain pada masa ini adalah Peter L.
Berger dan Talcott Parsons. Kedua tokoh sosiologi ini mencoba mensinergikan
atau menggabungkan kedua tokoh teori sosiologi kalsik yang bertentangan yakni
Emile Durkheim dan Max Weber atau yang dikenal dengan istilah teori Sintesis. Baiklah, kita awali dengan
analisis seputar perspektif Berger dalam dunia sosiologi agama.
Dalam perspektif Berger, masyarakat adalah fenomena
dialektik dalam pengertian bahwa masyarakat adalah suatu produk manusia, yang
akan selal memberi timbala balik kepada produsernya. Masyarakat tidak memiliki
bentuk alin kecuali bentuk yang telah diberikan kepadanya oleh aktivitas dan
kesadaran manusia. Namun realitas sosial tidak tak terpisah dari manusia,
sehingga dapat dipastikan bahwa manusia adalah suatu produk masyarakat.
Masyarakat sudah ada sebelum individu dilahirkan dan masih akan ada sesudah
individu mati. Lebih dari itu, didalam masyarakatlah individu menjadi sebuah
pribadi dan melaksaakan berbagai proyek yang menjadi bagian dari kehidupannya.
Dalam pandangan sintesanya, Berger menyatakan dialektik
fundamental dari masyarakat terdiri dari tiga momentum, yaitu eksternalisasi,
obyektivasi, dan internalisasi. Eksternalisasi
adalah kecurahan kedirian manusia secara terus-menerus ke dalam dunia, baik
dalam aktivitas fisis maupaun mentalnya. Obyektivasi
adalah disandangnya produk-produk aktivitas itu (baik fisis maupun mental),
suatu realitas yang berhadapan dengan para produsernya semula, dalam
bentuk suatu kefaktaan (faktisitas) yang
eksternal terhadap dan lain dari para produser itu sendiri. Internalisasi adalah peresapan kembali
realitas tersebut oleh manusia, dan mentransformasikannya sekali lagi dari
struktur-struktur dunia obyektif ke dalam struktur-dtruktur kesadaran
subyektif. Melalui eksternalisasi, maka masyarakat merupakan produk manusia
(lebih ke Weber). Melalui obyektivasi, maka masyarakat menjadi realitas sui generis, unik. Dan melalui
inernalisasi, maka manusia merupakan produk masyarakat (lebih ke Durkheim)[4].
Ekternalisasi merupakan keharusan kebudayaan
(antropologis) manusia, obyektivasi merupakan apa yang diperoleh sebagai
produk-produk kultural manusia baik yang bersifat material maupun non material,
dan internalisasi mengisyaratkan faktisitas obyektif juga menjadi faktisitas
subyektif. Karena kebudayaan dibentuk oleh pengalaman manusia atau dengan kata
lain kebudayaan terdiri dari totalitas produk-produk manusia, maka dapat
dikatakan bahwa dunia sosial (nomos) merupakan dunia yang dibangun secara
sosial dan merupakan suatu penataan
pengalaman. Dan begitu juga halnya dengan agama.
Bagi Berger agama merupakan suatu usaha manusia untuk
membentuk suatu kosmos keramat. Dengan kata lain agama adalah
suatu kosmisasi dalam suatu cara yang sakral (keramat). Keramat dimaksudkan
sebagai suatu kualitas kekuasaan yang misterius dan menakjubkan, bukan dari
manusia melainkan berkaitan dengan apa
yang diyakini berada dalam obyek-obyek pengalaman tertentu. Kualitas ini dapat
disandangkan pada obyek-obyek alami atau arfiliasi, pada binatang atau manusia.
Ada batu keramat, peralatan keramat, sapi keramat, dan lain sebagainya yang
keramat-keramat. Yang pada akhirnya kualitas tersebut dapat dibentuk dalam
makhluk-makhluk keramat, dari roh-roh lokal sampai dewa-dewa langit yang
tertinggi, yang pada gilirannya, mungkin berubah bentuk menjadi
kekuatan-kekuatan atau asas-asas yang mengatur kosmos, dan tidak lagi
dibayangkan dalam kerangka personal melainkan masih mengandung status
kekeramtan. Yang keramat itu difahami sebagi “menyeruak” dari rutinitas normal
kehidupan sehari-sehari, sebagai sesuatu yang luar biasa. Meskipun yang keramat
itu difahami sebagai bukan manusia, namun acuannya kepada manusia. Kosmos yang
ditegakkan oleh agama itu untuk mengatasi (transcend) dan juga meliputi
manusia. Kosmos yang keramat itu dihadapi oleh manusia sebagai suatu realitas
yang sangat berkuasa yang bukan dari dirinya sendiri. Namun realitas itu tertuju
pada diri manusia dan menempatkan kehidupan manusia dalam suatu tatanan yang
bermakna[5].
Sementara Talcott Parsons melihat agama
sebagai sesuatu yang melekat pada sistem dan struktur sosial dan penafsiran
masing-masing individu, atau yang dikenal dengan Religiusitas. Religiusitas berakar pada kesadaran individu dan
kesadaran kolektif.
Pendekatan Parsons lebih dekat pada pendekatan yang
digunakan Weber, yakni dengan melakukan pemahaman atau interpretasi atas
tindakan sosial individu. Karena inti tindakan sosial bagi Parsons adalah
adanya tujuan dan sebagai alat individu untuk bertindak dalam sebuah situasi
sosial agama setempat.
Pendekatan sisntesis Parsons dan Berger dapat dilihat
dalam teori Dualistik Positivisme.
Dualistik positivisme melihat masyarakat dan individu terbentuk secara
sendiri-sendiri secara sekaligus. Dualistik positivisme adalah bentuk
sinergitas dari teori obyektifisme Emile Durkheim dan teori subyektifisme Max
Weber.
Baiklah, kini kita masuk pada pembicaraan seputar fungsi-fungsi
sosial agama dan identifiksi sosiologis agama. Fungsi-fungsi sosial agama
diantaranya : 1). Fungsi Ganda,
fungsi ini dapat mengahsilkan efek positip dan negatif. Positifnya adalah agama
dapat membentuk persaudaraan yang lebih erat diantara pemeluk-pemeluknya
(integrasi), dan dampak negatifnya adalah agama dapat membentuk konflik
diantara penganut-penganutnya. Konflik agama dapat berbentuk konflik teologi,
konflik ekonomi-politik (agama tampil untuk menjstifikasi), konflik kpentingan
subyektif, dan konflik norma-norma lokal. 2).
Fungsi pembentukan dunia, agama menempati tempat tersendiri dalam usaha
pembentukan dunia, namun dapat ditemukan pada tiga ddialektik fundamental
masyarakat-seperti yang sudah dijelaskan diatas- yakni internalisasi,
eksternalisasi, dan obyektivasi. 3). Fungsi transformatif, agama dapat
mengubah hakikat sesuatu menjadi sesuatu yang baru. 4). Fungsi kontrol sosial, dalam hal ini agama berfungsi menyaring
nilai-nilai yang ada dan kemudian para pengikutnya bersikap sesuai dengan
nilai-nilai yang sudah dipilih. 5).
Fungsi kritik atau nubuwah, agama mampu mengkritisi kekurangan-kekurangan dunia
sosial melalui perspektif agamis. 6).
Fungsi stratifikasi sosial, agama lahir karena adanya penghargaan orang
terhadap suatu niali. 7). Fungsi
pembentukan, agama menagmbil tempat sebuah ideologi.
Identifikasi sosiologis agama atau cara mengenali
tanda-tanda adanya agama, diantaranya : a).
Agama sebgai pengalaman pribadi (subyektif); kepercayaan manusia kepada
hal-hala yang supranatural (mitos, kosmos,dsb). b). Agama sebagai masyarakat (komunitas); agama dapat berbentuk
comunity (sektoral) dan socity (universal). c).
Agama sebagai peranata sosial; agama sebagai norma-norma yang dapat menjadi
pedoman, pemersatu, dan pengontrol kehidupan. d). Agama sebagai ritual; tatkala agama sangat nampak dalam
proses-prose ibadah atau upacara. e.)
agama sebagai ideologi.
Kemudian yang terakhir adalah analisis sosial terhadap
agama. Ada lima pendekatan yang dapat digunakan dalam menganalisa agama melalui
perspektif sosial, diantaranya : pertama,
pendekatan struktural-fungsional. Pendekatan struktural fungsional pendekatan
ini mengatakan bahwa agama memiliki norma-norma yang kuat (konformitas), dan
bercirikan stabil, tidak ada perubahan (statis), organik, dan adanya
equilibrium (keseimbangan). Kedua, pendekatan
konflik marxian-struktural (non marxian). Pendekatan konflik marxian dikenal sebagai
konflik vertikal yakni adanya kelas-kelas sosial (kelas kuasa dan kelas yang
dikuasai) dalam masyarakat, sementara pendekatan non marxian dikenal sebagai
konflik horizontal yakni adanya kepentingan-kepentingan kelopmpok dalam
masyarakat.
Ketiga, pendekatan posmo dan kritik sosial. pendekatan ini
melihat adanya dominasi dan hegemoni dalam masyarakat, dan bercirikan adanya
kharismatik, adanya proses dominasi dan hegemonni, serta mengajak kearah
pemebebasan (empowering/libration). Keempat,
pendekatan interpretasi-hermenuitik. Pendekatan
interpretatif- hermenuiti melihat pada persoalan yang nyata (manifest) dan
laten (fkta). Kelima, pendekatan
sintesis-dialektis. Sebagaimana telah dijelaskan diatas mengenai teori
sintesis, bahwa pendekatan ini dipelopori oleh Tlacott Parsons dan Peter L
berger. Parsons menekankan pandangannya pada persoalan tindakan sosial sementara Berger menekankan pandangannya pada
persoalan mitos. Pendekatan
sintesis-dialektis melihat individu tidak dapat terpisahkan dari sistem dan
struktur sosial, sehingga hal ini lah yang dalam pandangan sintesa berfungsi
membentuk agama (religiusitas). Secara definitif, Religiusitas sendiri
merupakan agama sebagai hasil dari produksi sosial (sistem dan struktu
sosial).
DAPTAR BACAAN
Agger, Ben. 2009. Teori Sosial Kritis Kritik, Penerapan Dan
Implikasinya. Yogyakarta : Kreasi Wacana.
Berger, Peter L.
1991. Langit Suci Agama Sebagai Realitas
Sosial. Jakarta : LP3ES
Robertson, Roland
(ed). 1993. Agama Dalam Analisa Dan
Interpretasi Sosiologis. Jakarta : RajaGrafindo Persada.
No comments:
Post a Comment