Saturday, May 5, 2012

KEADILAN SOSIAL “Dalam Tinjauan Agama dan Perspektif Sosiologis”




Keadilan adalah kata kejadian dari kata “adil” yang terambil dari bahasa arab “adl”. Kamus-kamus bahasa Arab menginformasikan bahwa kata ini pada mulanya berarti “sama”. Persamaan tersebut sering dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat material. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “adil” diartikan : (1) tidak berat sebelah/tidak memihak, (2) berpihak kepada kebenaran, (3) sepatutnya tidak sewenang-wenang. “Persamaan yang merupakan makna asal kata “adil” itulah yang menjadikan pelakunya “tidak berpihak”, dan pada dasarnya pula seorang yang adil “berpihak kepada yang benar” karena baik yang benar maupun yang salah sama-sama harus memperoleh haknya. Dengan demikian ia melakukan sesuatu “yang patut” lagi “tidak sewenang-wenang”[1].
I.          Tinjauan Agama : Keadilan dalam Termin Al-Qur`an      
Didalam Al-Qur`an, persoalan keadilan dibicarakan dan dituntut dengan amat ragam. Mulai dari Tauhid sampai keyakinan mengenai hari kebangkitan, dari kenabian hingga ke kepemimpinan, dan dari individu hingga masyarakat. Keadilan adalah syarat bagi kesempurnaan pribadi, standar kesejahteraan masyarakat, dan sekaligus jalan terdekat menuju kebanagiaan ukhrawi[2].
Keadilan memiliki ragam makna, dan paling tidak ada empat makna keadilan yang dikemukakan oleh para pakar agama[3].
Pertama, adil dalam arti “sama”.
Kita dapat berkata bahwa si A adil, karena yang kita maksud adalah dia memperlakukan sama atau tidak membedakan seseorang dengan yang lain. Tetapi harus digarisbawahi bahwa persamaan yang dimaksud adalah persamaan hak. Dalam al-Qur`an dinyatakan ”apabila kamu memutuskan perkara diantara manusia, maka hendaklah engkau memutuskannya dengan adil” (QS. Al-Nisa` (4) : 58). Kata “adil” dalam ayat ini-bila diartikan sama-hanya mencakup sikap dan perlakuan hakim pada saat proses pengambilan keputusan.

Kedua, adil dalam arti “seimbang”.
Keseimbangan ditemukan pada suatu kelompok yang didalamnya terdapat beragam bagian yang menuju satu tujuan tertentu, selama syarat dan kadar tertentu terpenuhi oleh setiap bagian. Denga terhimpunnya syarat ini, kelompok itu dapat bertahan dan berjalan memenuhi tujuan kehadirannya. Contoh adil dalm arti seimbang dapat dilihat pada kelengkapan anggota tubuh manusia. Bila ada salah satu anggota tubuh manusia berlebih atau berkurang dari kadar atau syarat yang seharusnya, maka pasti tidak akan terjadi keseimbangan (baca: keadilan).
Ketiga, adil adalah “perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan hak-hak itu kepada setiap pemiliknya”.
Pengertian inilah yan didefenisikan dengan “menempatkan sesuatu pada tempatnya” atau “ memberi pihak lain haknya melalui jalan yang terdekat”. Lawannya adalah kezaliman, dalam arti pelanggaran terhadap hak-hak pihak lain. Pengertian keadilan seperti ini, melahirkan Keadilan Sosial.
Keempat, adil yang dinisbatkan kepada Ilahi.
Adil disini berarti “memelihara kewajaran atas berlanjutnya eksistensi, tidak mencegah kelanjutan eksistensi, dan perolehan rahmat sewaktu terdapat banyak kemungkinan untuk itu”. Semua wujud tidak memiliki hak atas Allah. Keadilan Ilahi pada dasarnya merupakan Rahmat dan Kebaikan-Nya. Keadilan-Nya mengandung konsekuensi bahwa rahmat Allah SWT tidak bertahan untuk diperoleh sejauh makhluk itu dapat meraihnya.     
II.       Perspektif Sosiologis : Wujud Keadilan Di Era Modernitas
            Dalam konteks zaman modern yang paling akhir, yang yang menempatkan umat manusia dalam lingkup tarik menarik antara dua ideologi; kapitalisme Barat dan sosialisme Timur, kaum muslimin sering mencari otensitas dirinya dengan suatu ideologi berdasarkan Islam yang menempatkan diri ditengah-tengah pertarungan ideologi barat dan Timur. Pandangan serupa itu dapat dicari dukungannya dari sumber-sumber ajaran Islam, khusunya Al-Qur`an. Sebagaimana firman Allah “Dan demikianlah kami (Allah) jadikan kamu sekalian umat penengah (wasath) agar kamu sekalian menjadi saksi atas seluruh umat manusia dan Rasul menjadi saksi atas kamu”(QS. al-Baqarah : 143). Maka sebagai umat penengah, kaum Muslimin juga diharapkan sebagai umat yang senantiasa menjaga keadilan, yakni dengan posisinya sebagai wasath.
            Pengalaman umat Islam dalam melaksanakan prinsip-prinsip keadilan di zaman modern belumlah terbilang banyak. Pertama, belum satupun diantara negeri-negeri Muslim yang telah mengalami modernisasi total. Lompatan kemajuan luar biasa negeri-negeri Arab berkat boom minyak baru memberi dampak yang terlampau singkat untuk dapat dinilai dengan mantap bahwa mereka telah menemukan cara yang terbaik untuk melakukan dan mewujudkan perinsip-perinsip keadilan yang dikehendaki al-Qur`an dalam konteks modernitas. Sementara kesemuanya itu masih sedang dalam proses pertumbuhan dan masih ditunggu bersama hasil akhirnya, modernitas seperti yang dialami negeri-negeri maju menunjukkan pola-pola hidup sosial, ekonomi, dan politik yang jauh lebih kompleks daripada yang ada di zaman pramodern. Dan negeri-negeri muslim pun, seiring dengan pertumbuhan dan modernisasinya masing-masing, juga menunjukkan pola-pola yang semakin kompleks, bahkan hampir semuanya disertai dengan bentuk-bentuk kritis tertentu[4].
            Kompleksitas masyarakat modern itu dengan sendirinya menuntut persyaratan dan pola tertentu bagi setiap usaha pelaksanaan primsip-prinsip ajaran agama, termasuk prinsip keadilan. Dan menemukan bentuk yang tepat persyaratan dan pola itu tidak dapat terjadi hanya dengan jalan intelektualisasi. Dalam masalah kehidupan nyata (bukan kehidupan filosofis) eksperimen akan jauh lebih menentukan kebenaran suatu temuan daripada intelektualisasi. Inilah yang dimaksud oleh para ulama Islam klasik ketika mereka menegaskan “hakikat ada dalam kenyataan luar, tidak dalam dunia pemikiran”[5].
            Kompleksitas akibat kemodernan tidak hanya merupakan masalah nasional dalam arti hanya dialami oleh suatu bangsa dalam lingkungan dan batas nasionalnya semata. Justru salah satu karakteristik terkuat zaman modern ialah lingkupnya yang mencakup dan meliputi seluruh dunia. Keadaan yang mondial ini membuat penyelesaian suatu masalah dalam suatu negeri akan selalu terkait-jika tidak langsung menuntut-penyelesaian masalah itu secara menjagad. Namun justru disinlah terletak kekuatan Islam dan potensinya yang amat besar untuk dapat membimbing, sekurang-kurangnya menyertai, usaha-usaha bersama umat manusia mengatasi persoalan ketidakadilan dan kepincangan mondial. Hodgson ketika membandingkan islam dan Kristen dalam menghadapi zaman modern, mengatakan :”Barangkali dapat ditambahkan bahwa Islam lebih jelas mengandugn ciri-ciri intelektual dan moral peradaban kosmopolitan dibanding dengan dogma dan ritual yang kompleks dari kaum Kristen : ia (Islam) acapkali memberi kepasan suatu sapihan dari masa lampau yang lebih terang dibanding mental dan spritual. Kosmopolitanisme Islam telah mnjadi hal yang amat penting. Akhirnya adalah kosmopolitanismenya itu yang disajikan Islam sebagai suatu respons positif dan amat kuat terhadap tantangan modernitas”[6]. 
Menengok Sisi Keadilan Sosial Bagi Kaum Miskin Di Indonesia.
Wacana kemiskinan masih dan akan terus menjadi topik hangat yang banyak diperbincangkan dalam diskusi-diskusi publik. Seakan tiada akhir, wacana yang didiskusikan tidak hanya dimeja birokrasi, sidang parlemen, muka tv, namun telah masuk ke ranah kampus, pondok pesantren, dan bahkan masyarakat secara umum turut ikut berdiskusi namun dengan  bentuk keluh-kesah, terasa akan hanya menjadi wacana abadi, mengingat sampai saat ini belum ada tindakan solutif dan persoalan kemiskinan masih menjadi wajah buram dari negara ini. Distabilitas politik nasional, ketimpangan (kebijakan) ekonomi, disintegritas penegakan hukum, menjadi wajah dari sisi keadilan sosial di negara ini bila dikonfrontasikan dengan realitas masyarakat miskin.
Hal ini, menjadikan kaum miskin terus berada pada posisi yang termarjinalkan. Distabilitas politik merekrut energi petinggi-petinggi negara yang terkonsentrasi untuk mempertahankan status quo kekuasaan. Kebijakan-kebijakan ekonomi negara yang selalu memihak dan memprioritaskan kepentingan pemodal, adalah cermin ketimpangan ekonomi yang tidak pernah memihak pada rakyat miskin. Disintegritas penegakan hukum terus terjadi disetiap sudut negeri ini, yang memunculkan sebuah ironi dimana negara hukum dengan keputusan hukum yang bisa dibeli. Walhasil, rakyat miskin yang terkena suatu perkara akan terus menangis ketika mendengar keputusan hakim tentang perkara yang menimpanya. Dan memang seperti inilah fakta penegakan hukum di negara hukum ini.
Sisi keadilan sosial kemudian menjadi sebuah tanda tanya besar. Dimana seharusnya, konsep keadilan sosial harus berkenaan dengan prinsip mengatur pembagian beban dan nikmat dari suatu kerja sama sosial yang termanifestasi dalam lembaga yang disebut negara[7]. Keadilan sosial seharusnya mengekspresikan prinsip kesamaan dan kemerdekaan secara merata bagi seluruh warga negara. Namun hal ini sangat kontraproduktif dengan realita yang ada, dimana posisi kaum miskin yang selalu dipandang sebelah mata bahkan cenderung melahirkan “kasta” dalam masyarakat.
Dengan adanya marjinalisasi dan deskriminasi oleh negara terhadap kaum miskin, menyebabkan terjadinya kemiskinan struktural[8]. Hal ini dapat ditunjukkan dengan adanya serangkaian kebijakan ekonomi manipulatif yang diperuntukkan bagi kaum miskin, namun sebenarnya kebijakan ekonomi tersebut dimaksudkan untuk membela kepentingan kaum pemodal. Hal ini yang kemudian disebut penulis sebagai “perselingkuhan sosial” yang dilakukan oleh negara dengan kaum pemodal.
Padahal bila mau kembali pada makna keadilan sosial-sebagaimana dijelaskan pada keadilan dalam tinjauan agama makna ketiga-jelas menyebutkan bahwa segala sesuatu harus ditempatkan pada posisinya, yang menjadikan makna adil sebagai keadilan sosial. Namun makna itu menjadi nihil ketika melihat sisi keadilan sosial yang termanifestasikan dalam kehidupan masyarakat.
Seyogyanya, angka kemiskinan yang sangat tinggi seharusnya mampu membuat sadar pemerintah untuk segera mendatangkan solusi dengan mengarahkan kebijakn ekonomi yang memihak kepada kepentingan kaum miskin. Kondisi ekonomi masyarakat sepatutnya dapat mendatangkan rasa iba pasar untuk tidak menaikkan harga kebutuhan barang pokok, seperti bahan-bahan baku dapur dan lain sebagainya. Harus pula mampu menciptakan rasa kemanusiaan pihak rumah sakit untuk memberikan pengobatan gratis terhadap pasien yang kurang mampu.  Dan tentunya mampu menyegerakan pemerintah untuk memenuhi janji politiknya seperti memberikan pendidikan gratis, bagi kaum miskin. Karena pada hakikatnya, tuntutan-tuntutan tersebut adalah manifestasi sesungguhnya dari makna-makna Keadilan Sosial.  
  
DAFTAR PUSTAKA
Effendy. Muhdjir, 1996, Pemberdayaan Kaum Miskin Sudut Pandang Doktrin Islam, dalam AFKAR. Vol I. No.3, Juli-September 1996.
Majid. Nurcholis, 2000, Islam Doktrin Dan Peradaban, Jakarta : Yayasan Wkaf Paramadina.
Quraish. M Shihab, 1996, Wawasan Al-Qur`an Tafsir Maudhu`i Atas Pelbagai Persoalan Umat, Yogyakarta : Penerbit Mizan.
Rasuanto. Bur, 2005, Keadilan Sosial, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
















[1] M. Quraish, Shihab. 1996. Wawasan Al-Qur`an Tafsir maudhu`i atas pelbagai persoalan Umat. Yogyakarta : Penerbit Mizan. hlm : 111
[2] Ibid. hlm : 113
[3] Ibid. hlm : 114-116
[4] Nurcholis Majid. 2000. Islam Dan Doktrin Perdaban. Jakarta : Yayasan Wakaf Paramadina. hlm : 521 
[5] Ibid. hlm : 521-522
[6] Ibid. hlm : 522
[7] Bur Rasianto. 2005. Keadilan Sosial. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
[8] Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang terjadi akibat adanya struktur tertentu yang diciptakan dan diberlakukan oleh pihak yang memiliki kekuasaan. Baca lebih lanjut dalam Muhadjir Effendy. 1996. Pemberdayaan Kaum Miskin Sudut Pandang Doktrin Islam. Dalam AFKAR, Vol I. No 3, Juli-September 1996.

No comments:

Post a Comment