Keadilan adalah kata
kejadian dari kata “adil” yang terambil dari bahasa arab “adl”. Kamus-kamus bahasa Arab menginformasikan bahwa kata ini pada
mulanya berarti “sama”. Persamaan tersebut sering dikaitkan dengan hal-hal yang
bersifat material. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, kata “adil”
diartikan : (1) tidak berat sebelah/tidak memihak, (2) berpihak kepada
kebenaran, (3) sepatutnya tidak sewenang-wenang. “Persamaan yang merupakan
makna asal kata “adil” itulah yang menjadikan pelakunya “tidak berpihak”, dan
pada dasarnya pula seorang yang adil “berpihak kepada yang benar” karena baik
yang benar maupun yang salah sama-sama harus memperoleh haknya. Dengan demikian
ia melakukan sesuatu “yang patut” lagi “tidak sewenang-wenang”[1].
I.
Tinjauan Agama : Keadilan dalam Termin
Al-Qur`an
Didalam Al-Qur`an,
persoalan keadilan dibicarakan dan dituntut dengan amat ragam. Mulai dari
Tauhid sampai keyakinan mengenai hari kebangkitan, dari kenabian hingga ke
kepemimpinan, dan dari individu hingga masyarakat. Keadilan adalah syarat bagi
kesempurnaan pribadi, standar kesejahteraan masyarakat, dan sekaligus jalan
terdekat menuju kebanagiaan ukhrawi[2].
Keadilan memiliki ragam
makna, dan paling tidak ada empat makna keadilan yang dikemukakan oleh para
pakar agama[3].
Pertama,
adil dalam arti “sama”.
Kita dapat berkata
bahwa si A adil, karena yang kita maksud adalah dia memperlakukan sama atau
tidak membedakan seseorang dengan yang lain. Tetapi harus digarisbawahi bahwa
persamaan yang dimaksud adalah persamaan hak. Dalam al-Qur`an dinyatakan ”apabila kamu memutuskan perkara diantara
manusia, maka hendaklah engkau
memutuskannya dengan adil” (QS. Al-Nisa` (4) : 58). Kata “adil” dalam ayat
ini-bila diartikan sama-hanya mencakup sikap dan perlakuan hakim pada saat
proses pengambilan keputusan.
Kedua,
adil dalam arti “seimbang”.
Keseimbangan ditemukan
pada suatu kelompok yang didalamnya terdapat beragam bagian yang menuju satu
tujuan tertentu, selama syarat dan kadar tertentu terpenuhi oleh setiap bagian.
Denga terhimpunnya syarat ini, kelompok itu dapat bertahan dan berjalan
memenuhi tujuan kehadirannya. Contoh adil dalm arti seimbang dapat dilihat pada
kelengkapan anggota tubuh manusia. Bila ada salah satu anggota tubuh manusia
berlebih atau berkurang dari kadar atau syarat yang seharusnya, maka pasti
tidak akan terjadi keseimbangan (baca: keadilan).
Ketiga,
adil adalah “perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan hak-hak itu
kepada setiap pemiliknya”.
Pengertian inilah yan
didefenisikan dengan “menempatkan sesuatu pada tempatnya” atau “ memberi pihak
lain haknya melalui jalan yang terdekat”. Lawannya adalah kezaliman, dalam arti
pelanggaran terhadap hak-hak pihak lain. Pengertian keadilan seperti ini,
melahirkan Keadilan Sosial.
Keempat,
adil yang dinisbatkan kepada Ilahi.
Adil disini berarti
“memelihara kewajaran atas berlanjutnya eksistensi, tidak mencegah kelanjutan
eksistensi, dan perolehan rahmat sewaktu terdapat banyak kemungkinan untuk
itu”. Semua wujud tidak memiliki hak atas Allah. Keadilan Ilahi pada dasarnya
merupakan Rahmat dan Kebaikan-Nya. Keadilan-Nya mengandung konsekuensi bahwa
rahmat Allah SWT tidak bertahan untuk diperoleh sejauh makhluk itu dapat
meraihnya.
II. Perspektif
Sosiologis : Wujud Keadilan Di Era Modernitas
Dalam
konteks zaman modern yang paling akhir, yang yang menempatkan umat manusia
dalam lingkup tarik menarik antara dua ideologi; kapitalisme Barat dan
sosialisme Timur, kaum muslimin sering mencari otensitas dirinya dengan suatu
ideologi berdasarkan Islam yang menempatkan diri ditengah-tengah pertarungan
ideologi barat dan Timur. Pandangan serupa itu dapat dicari dukungannya dari
sumber-sumber ajaran Islam, khusunya Al-Qur`an. Sebagaimana firman Allah “Dan
demikianlah kami (Allah) jadikan kamu sekalian umat penengah (wasath) agar kamu
sekalian menjadi saksi atas seluruh umat manusia dan Rasul menjadi saksi atas
kamu”(QS. al-Baqarah : 143). Maka sebagai umat penengah, kaum Muslimin juga
diharapkan sebagai umat yang senantiasa menjaga keadilan, yakni dengan
posisinya sebagai wasath.
Pengalaman
umat Islam dalam melaksanakan prinsip-prinsip keadilan di zaman modern belumlah
terbilang banyak. Pertama, belum satupun diantara negeri-negeri Muslim yang
telah mengalami modernisasi total. Lompatan kemajuan luar biasa negeri-negeri
Arab berkat boom minyak baru memberi dampak yang terlampau singkat untuk dapat
dinilai dengan mantap bahwa mereka telah menemukan cara yang terbaik untuk
melakukan dan mewujudkan perinsip-perinsip keadilan yang dikehendaki al-Qur`an
dalam konteks modernitas. Sementara kesemuanya itu masih sedang dalam proses
pertumbuhan dan masih ditunggu bersama hasil akhirnya, modernitas seperti yang
dialami negeri-negeri maju menunjukkan pola-pola hidup sosial, ekonomi, dan politik
yang jauh lebih kompleks daripada yang ada di zaman pramodern. Dan
negeri-negeri muslim pun, seiring dengan pertumbuhan dan modernisasinya
masing-masing, juga menunjukkan pola-pola yang semakin kompleks, bahkan hampir
semuanya disertai dengan bentuk-bentuk kritis tertentu[4].
Kompleksitas
masyarakat modern itu dengan sendirinya menuntut persyaratan dan pola tertentu
bagi setiap usaha pelaksanaan primsip-prinsip ajaran agama, termasuk prinsip
keadilan. Dan menemukan bentuk yang tepat persyaratan dan pola itu tidak dapat
terjadi hanya dengan jalan intelektualisasi. Dalam masalah kehidupan nyata
(bukan kehidupan filosofis) eksperimen akan jauh lebih menentukan kebenaran
suatu temuan daripada intelektualisasi. Inilah yang dimaksud oleh para ulama
Islam klasik ketika mereka menegaskan “hakikat ada dalam kenyataan luar, tidak
dalam dunia pemikiran”[5].
Kompleksitas akibat kemodernan tidak
hanya merupakan masalah nasional dalam arti hanya dialami oleh suatu bangsa
dalam lingkungan dan batas nasionalnya semata. Justru salah satu karakteristik
terkuat zaman modern ialah lingkupnya yang mencakup dan meliputi seluruh dunia.
Keadaan yang mondial ini membuat penyelesaian suatu masalah dalam suatu negeri
akan selalu terkait-jika tidak langsung menuntut-penyelesaian masalah itu
secara menjagad. Namun justru disinlah terletak kekuatan Islam dan potensinya
yang amat besar untuk dapat membimbing, sekurang-kurangnya menyertai,
usaha-usaha bersama umat manusia mengatasi persoalan ketidakadilan dan
kepincangan mondial. Hodgson ketika membandingkan islam dan Kristen dalam
menghadapi zaman modern, mengatakan :”Barangkali dapat ditambahkan bahwa Islam
lebih jelas mengandugn ciri-ciri intelektual dan moral peradaban kosmopolitan
dibanding dengan dogma dan ritual yang kompleks dari kaum Kristen : ia (Islam)
acapkali memberi kepasan suatu sapihan dari masa lampau yang lebih terang
dibanding mental dan spritual. Kosmopolitanisme Islam telah mnjadi hal yang
amat penting. Akhirnya adalah kosmopolitanismenya itu yang disajikan Islam sebagai
suatu respons positif dan amat kuat terhadap tantangan modernitas”[6].
Menengok Sisi Keadilan Sosial Bagi
Kaum Miskin Di Indonesia.
Wacana kemiskinan masih
dan akan terus menjadi topik hangat yang banyak diperbincangkan dalam
diskusi-diskusi publik. Seakan tiada akhir, wacana yang didiskusikan tidak
hanya dimeja birokrasi, sidang parlemen, muka tv, namun telah masuk ke ranah
kampus, pondok pesantren, dan bahkan masyarakat secara umum turut ikut
berdiskusi namun dengan bentuk
keluh-kesah, terasa akan hanya menjadi wacana abadi, mengingat sampai saat ini
belum ada tindakan solutif dan persoalan kemiskinan masih menjadi wajah buram
dari negara ini. Distabilitas politik nasional, ketimpangan (kebijakan)
ekonomi, disintegritas penegakan hukum, menjadi wajah dari sisi keadilan sosial
di negara ini bila dikonfrontasikan dengan realitas masyarakat miskin.
Hal ini, menjadikan
kaum miskin terus berada pada posisi yang termarjinalkan. Distabilitas politik
merekrut energi petinggi-petinggi negara yang terkonsentrasi untuk
mempertahankan status quo kekuasaan.
Kebijakan-kebijakan ekonomi negara yang selalu memihak dan memprioritaskan
kepentingan pemodal, adalah cermin ketimpangan ekonomi yang tidak pernah
memihak pada rakyat miskin. Disintegritas penegakan hukum terus terjadi
disetiap sudut negeri ini, yang memunculkan sebuah ironi dimana negara hukum
dengan keputusan hukum yang bisa dibeli. Walhasil, rakyat miskin yang terkena
suatu perkara akan terus menangis ketika mendengar keputusan hakim tentang
perkara yang menimpanya. Dan memang seperti inilah fakta penegakan hukum di
negara hukum ini.
Sisi keadilan sosial
kemudian menjadi sebuah tanda tanya besar. Dimana seharusnya, konsep keadilan
sosial harus berkenaan dengan prinsip mengatur pembagian beban dan nikmat dari
suatu kerja sama sosial yang termanifestasi dalam lembaga yang disebut negara[7].
Keadilan sosial seharusnya mengekspresikan prinsip kesamaan dan kemerdekaan
secara merata bagi seluruh warga negara. Namun hal ini sangat kontraproduktif
dengan realita yang ada, dimana posisi kaum miskin yang selalu dipandang
sebelah mata bahkan cenderung melahirkan “kasta” dalam masyarakat.
Dengan adanya
marjinalisasi dan deskriminasi oleh negara terhadap kaum miskin, menyebabkan
terjadinya kemiskinan struktural[8].
Hal ini dapat ditunjukkan dengan adanya serangkaian kebijakan ekonomi
manipulatif yang diperuntukkan bagi kaum miskin, namun sebenarnya kebijakan
ekonomi tersebut dimaksudkan untuk membela kepentingan kaum pemodal. Hal ini
yang kemudian disebut penulis sebagai “perselingkuhan sosial” yang dilakukan
oleh negara dengan kaum pemodal.
Padahal bila mau
kembali pada makna keadilan sosial-sebagaimana dijelaskan pada keadilan dalam
tinjauan agama makna ketiga-jelas menyebutkan bahwa segala sesuatu harus
ditempatkan pada posisinya, yang menjadikan makna adil sebagai keadilan sosial.
Namun makna itu menjadi nihil ketika melihat sisi keadilan sosial yang
termanifestasikan dalam kehidupan masyarakat.
Seyogyanya, angka
kemiskinan yang sangat tinggi seharusnya mampu membuat sadar pemerintah untuk
segera mendatangkan solusi dengan mengarahkan kebijakn ekonomi yang memihak
kepada kepentingan kaum miskin. Kondisi ekonomi masyarakat sepatutnya dapat
mendatangkan rasa iba pasar untuk tidak menaikkan harga kebutuhan barang pokok,
seperti bahan-bahan baku dapur dan lain sebagainya. Harus pula mampu
menciptakan rasa kemanusiaan pihak rumah sakit untuk memberikan pengobatan
gratis terhadap pasien yang kurang mampu.
Dan tentunya mampu menyegerakan pemerintah untuk memenuhi janji
politiknya seperti memberikan pendidikan gratis, bagi kaum miskin. Karena pada
hakikatnya, tuntutan-tuntutan tersebut adalah manifestasi sesungguhnya dari
makna-makna Keadilan Sosial.
DAFTAR
PUSTAKA
Effendy.
Muhdjir, 1996, Pemberdayaan Kaum Miskin
Sudut Pandang Doktrin Islam,
dalam AFKAR. Vol I. No.3,
Juli-September 1996.
Majid.
Nurcholis, 2000, Islam Doktrin Dan
Peradaban, Jakarta : Yayasan Wkaf Paramadina.
Quraish.
M Shihab, 1996, Wawasan Al-Qur`an Tafsir
Maudhu`i Atas Pelbagai Persoalan Umat,
Yogyakarta : Penerbit Mizan.
Rasuanto.
Bur, 2005, Keadilan Sosial, Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama.
[1] M. Quraish, Shihab. 1996. Wawasan Al-Qur`an Tafsir maudhu`i atas pelbagai persoalan Umat.
Yogyakarta : Penerbit Mizan. hlm : 111
[2] Ibid. hlm : 113
[3] Ibid. hlm : 114-116
[4] Nurcholis Majid. 2000. Islam Dan Doktrin Perdaban. Jakarta :
Yayasan Wakaf Paramadina. hlm : 521
[5]
Ibid. hlm : 521-522
[6]
Ibid. hlm : 522
[7] Bur Rasianto. 2005. Keadilan Sosial. Jakarta : Gramedia
Pustaka Utama.
[8] Kemiskinan struktural adalah
kemiskinan yang terjadi akibat adanya struktur tertentu yang diciptakan dan
diberlakukan oleh pihak yang memiliki kekuasaan. Baca lebih lanjut dalam
Muhadjir Effendy. 1996. Pemberdayaan Kaum
Miskin Sudut Pandang Doktrin Islam. Dalam AFKAR, Vol I. No 3, Juli-September 1996.
No comments:
Post a Comment