Tuesday, May 8, 2012

Kemiskinan dan Trend Bunuh Diri di Masyarakat


“Kematian Bukan Untuk Ditangisi. Namun “Sebab” Kematian Itu Yang Harus Diteliti”
(Cak Nun).
Apa yang dikatakan Cak Nun dalam satu baris kalimat syarat makna diatas, saya rasa akan mampu mengubah cara pandang kita dalam menyikapi kematian. Kematian tentunya merupakan sesuatu yang pasti terjadi bagi setiap yang bernafas, dan menangisinya adalah suatu tindakan yang wajar. Namun yang lebih penting dari menangis adalah bagaimana kita dapat mengetahui latar belakang dari kematian tersebut. Karena kematian tidak hanya terjadi atas alasan sakit, sudah tua dan alasan-alasan kematian lainnya yang masih pada tataran biasa. Tapi lebih dari itu ada alasan yang tidak biasa yakni seperti sengaja dibunuh, dan ada pula alasan yang sangat luar biasa yakni sengaja bunuh diri.
Bunuh diri seakan tengah menghantui kehidupan masyarakat dewasa ini. Masyarakat seakan terus dibayang-bayangi oleh banyaknya kejadian bunuh diri disana-sini. Di banyak lembaran media lokal maupun nasional, koran maupun televisi telah banyak dihiasi oleh berita seputar percobaan bunuh diri yang dilakukan masyarakat. Hal ini yang menjadikan bunuh diri menjadi begitu dekat dengan kehidupan masyarakat dan sebagai fenomena yang mungkin sudah dianggap biasa. Banyaknya suguhan berita di media yang mengabarkan adanya percobaan bunuh diri dengan cara memanjat tower, membakar diri, dan lain sebagainya. Bahkan masih segar diingatan ketika beberapa hari lalu ada percobaan bunuh diri yang dilakukan oleh seorang pemuda didepan istana negara dengan cara membakar diri. Tindakan-tindakan percobaan bunuh diri ini tentunya dilatari oleh alasan kausalitas yang berbeda-beda. Namun yang terasa paling dekat adalah alasan ekonomi.    
Kubangan Kemiskinan dan Pilihan Bunuh Diri
Roda kehidupan tidak akan pernah berjalan normal tanpa diikuti dengan kondisi perekonomian yang baik. Tingginya angka kemiskinan adalah wajah paling nyata dari keadaan ekonomi masyarakat hari ini. Kemiskinan telah memberikan manusia tekanan hidup yang cukup dilematis. Terasa sulit untuk keluar dari kubangan kemiskinan, bila masyarakat dihadapkan pada kondisi lapangan kerja yang semakin menyempit dan peluang kerja yang semakin kecil.
Langkah pengentasan kemiskinan bukannya tidak pernah dilakukan, namun semua usaha itu seakan mental dan tidak mampu menekan angka kemiskinan yang semakin tinggi. Lihat saja usaha pemerintah melalui kebijakannya untuk menyalurkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) misalnya. Usaha ini belum terbilang efektif karena faktanya dana BLT yang hanya berjumlah Rp. 300.000 hanya bartahan dalam hitungan hari. Kebutuhan hidup si penerima BLT tidak akan mampu tercukupi dengan nominal uang sejumlah itu. Atau mungkin program BLT diatas hanya merupakan pelipur lara bagi masyarakat sebagai usaha pemerintah untuk menutupi kedoknya karena telah berselingkuh dengan kaum kapitalis yang telah mengedapankan proyek-proyek pembangunan yang hanya akan memberikan keuntungan kepada golongan mereka. Kalau demikian adanya, maka tidak ada salahnya bila mengutip apa yang dikatakan Ahmad Erani Yustika bahwa “Kemiskinan tidak pernah mendarat dari langit, tetapi mengudara dari struktur yang membatu di bumi”. Atau usaha mandiri dari masyarakat dengan memilih berbondong-bondong keluar negeri menjadi TKI.
Minimnya lapangan pekerjaan menjadi salah satu faktor tingginya angka kemiskinan di negara ini. Tengok saja angka pengangguran saat ini yang disumbangkan oleh kampus misalnya, kurang lebih mencapai 750.000 lulusan diploma dan sarjana menganggur. Belum lagi jika ditambah dengan jutaan siswa putus sekolah dari tingkat SD hingga SLTA yang tercatat sejak tahun 2002 rata-rata mencapai jumlah 1,5 juta siswa setiap tahun. Dan ini baru angka pengangguran dengan kategori terdidik, bagaimana bila ditambah dengan angka pengangguran dengan kategori tidak terdidik? Silahkan hitung sendiri. 
Ironisnya, angka kemiskinan yang begitu tinggi tidak mampu mendatangkan rasa iba pasar untuk tidak menaikkan harga kebutuhan bahan pokok, seperti bahan-bahan baku dapur dan lain sebagainya. Juga tidak mampu menyadarkan pemerintah untuk segera memenuhi janji politiknya untuk memberikan pendidikan gratis dan pengobatan gratis bagi masyarakat miskin.
Dilematika hidup yang begitu ruwet, memaksa kita untuk memutar otak semaksimal mungkin dalam rangka menemukan cara untuk bertahan hidup (survive to live). Persoalan kemiskinan yang terus menjadi pertanyaan besar yang belum mampu terjawab, banyaknya suguhan solusi kemiskinan yang terus-terusan mental dan tidak berhasil, dan ditengah ambiguitas masyarakat dalam menghadapi semua itu maka tidak heran jika pilihan terakhir yang dianggap cukup realistis adalah dengan mengeliminasi diri dari panggung kehidupan ini dengan jalan bunuh diri.
Menyikapi Trend Bunuh Diri
Secara teoritis, seturut Durkheim tindakan bunuh diri (sucide) terklasifikasi menjadi tiga macam yang didasarkan pada penyebab terjadinya tindakan bunuh diri. Tiga macam bunuh diri tersebut adalah Pertama, egoistik sucide, bunuh diri yang dikarenakan oleh keputusasaan manusia (masyarakat) dalam menghadapi persoalan hidup yang cukup akut dan kompleks. Kedua, atroistik sucide, adalah tindakan bunuh diri yang disebabkan oleh adanya doktrin ajaran yang mengikat dirinya. Dan ketiga, anomik sucide, merupakan tindakan bunuh diri yang dikarenakan oleh kegagalan adaptasi seorang individu dengan sistem yang ia hadapi atau dengan kata lain, individu tersebut belum  mendapatkan kepastian norma. Ketiga jenis bunuh diri ini tentunya dapat dipakai untuk melihat fenomena bunuh diri yang terjadi di masyarakt kita.
Untuk bisa sedikit menjauhkan kita dari pilihan bunuh diri, saya rasa kita perlu menyadari satu hal bahwa kehidupan yang kita jalani ini sebenarnya tidak pernah memberikan kepastian. Namun kita selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan hidup yang begitu beragam. Persoalan kemiskinan-atau persoalan hidup lainnya-yang sedang kita hadapi merupakan satu dari sekian pilihan hidup yang ada. Mengatasi persoalan tersebut bukan dengan menghindar apalagi samapai terjebak pada pilihan melakukan bunuh diri. 
Yang tidak disadari pula oleh pelaku-pelaku bunuh diri adalah “dampak” dari tindakan yang mereka ambil. Dampak bagi keluarganya secara khusus dan dampak bagi masyarakat secara umum. Atau pun dampak yang akan ditanggungnya sendiri kelak ketika akan berhadapan dengan sang Ilahi. Karena tentunya tindakan bunuh diri merupakan tindakan yang sangat tidak diridhoi oleh agama. Yakinlah bahwa bunuh diri bukanlah solusi jitu dalam mengatasi persoalan hidup. Melainkan tindakan tersebut akan menimbulkan dampak yang besar bagi kehidupan sekaligus menjadi persoalan baru yang juga membutuhkan solusi baru (solusi dalam solusi). Atau dengan singkat kata, bunuh diri adalah tindakan yang dinggap sebagai solusi hidup, namun tidak solutive.

No comments:

Post a Comment