“Kematian Bukan Untuk
Ditangisi. Namun “Sebab” Kematian Itu Yang Harus Diteliti”
(Cak Nun).
Apa yang dikatakan Cak Nun dalam satu baris kalimat syarat makna
diatas, saya rasa akan mampu mengubah cara pandang kita dalam menyikapi
kematian. Kematian tentunya merupakan sesuatu yang pasti terjadi bagi setiap
yang bernafas, dan menangisinya adalah suatu tindakan yang wajar. Namun yang
lebih penting dari menangis adalah bagaimana kita dapat mengetahui latar
belakang dari kematian tersebut. Karena kematian tidak hanya terjadi atas
alasan sakit, sudah tua dan alasan-alasan kematian lainnya yang masih pada
tataran biasa. Tapi lebih dari itu ada alasan yang tidak biasa yakni seperti
sengaja dibunuh, dan ada pula alasan yang sangat luar biasa yakni sengaja bunuh
diri.
Bunuh diri seakan tengah menghantui kehidupan masyarakat dewasa
ini. Masyarakat seakan terus dibayang-bayangi oleh banyaknya kejadian bunuh
diri disana-sini. Di banyak lembaran media lokal maupun nasional, koran maupun
televisi telah banyak dihiasi oleh berita seputar percobaan bunuh diri yang
dilakukan masyarakat. Hal ini yang menjadikan bunuh diri menjadi begitu dekat
dengan kehidupan masyarakat dan sebagai fenomena yang mungkin sudah dianggap
biasa. Banyaknya suguhan berita di media yang mengabarkan adanya percobaan
bunuh diri dengan cara memanjat tower, membakar diri, dan lain sebagainya.
Bahkan masih segar diingatan ketika beberapa hari lalu ada percobaan bunuh diri
yang dilakukan oleh seorang pemuda didepan istana negara dengan cara membakar
diri. Tindakan-tindakan percobaan bunuh diri ini tentunya dilatari oleh alasan
kausalitas yang berbeda-beda. Namun yang terasa paling dekat adalah alasan
ekonomi.
Kubangan Kemiskinan
dan Pilihan Bunuh Diri
Roda kehidupan tidak akan pernah berjalan normal tanpa diikuti
dengan kondisi perekonomian yang baik. Tingginya angka kemiskinan adalah wajah
paling nyata dari keadaan ekonomi masyarakat hari ini. Kemiskinan telah
memberikan manusia tekanan hidup yang cukup dilematis. Terasa sulit untuk
keluar dari kubangan kemiskinan, bila masyarakat dihadapkan pada kondisi
lapangan kerja yang semakin menyempit dan peluang kerja yang semakin kecil.
Langkah pengentasan kemiskinan bukannya tidak pernah dilakukan,
namun semua usaha itu seakan mental dan tidak mampu menekan angka kemiskinan
yang semakin tinggi. Lihat saja usaha pemerintah melalui kebijakannya untuk
menyalurkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) misalnya. Usaha ini belum terbilang
efektif karena faktanya dana BLT yang hanya berjumlah Rp. 300.000 hanya
bartahan dalam hitungan hari. Kebutuhan hidup si penerima BLT tidak akan mampu
tercukupi dengan nominal uang sejumlah itu. Atau mungkin program BLT diatas
hanya merupakan pelipur lara bagi masyarakat sebagai usaha pemerintah untuk menutupi
kedoknya karena telah berselingkuh dengan kaum kapitalis yang telah
mengedapankan proyek-proyek pembangunan yang hanya akan memberikan keuntungan
kepada golongan mereka. Kalau demikian adanya, maka tidak ada salahnya bila
mengutip apa yang dikatakan Ahmad Erani Yustika bahwa “Kemiskinan tidak pernah
mendarat dari langit, tetapi mengudara dari struktur yang membatu di bumi”.
Atau usaha mandiri dari masyarakat dengan memilih berbondong-bondong keluar
negeri menjadi TKI.
Minimnya lapangan pekerjaan menjadi salah satu faktor tingginya
angka kemiskinan di negara ini. Tengok saja angka pengangguran saat ini yang
disumbangkan oleh kampus misalnya, kurang lebih mencapai 750.000 lulusan
diploma dan sarjana menganggur. Belum lagi jika ditambah dengan jutaan siswa
putus sekolah dari tingkat SD hingga SLTA yang tercatat sejak tahun 2002
rata-rata mencapai jumlah 1,5 juta siswa setiap tahun. Dan ini baru angka
pengangguran dengan kategori terdidik, bagaimana bila ditambah dengan angka
pengangguran dengan kategori tidak terdidik? Silahkan hitung sendiri.
Ironisnya, angka kemiskinan yang begitu tinggi tidak mampu
mendatangkan rasa iba pasar untuk tidak menaikkan harga kebutuhan bahan pokok,
seperti bahan-bahan baku dapur dan lain sebagainya. Juga tidak mampu menyadarkan
pemerintah untuk segera memenuhi janji politiknya untuk memberikan pendidikan
gratis dan pengobatan gratis bagi masyarakat miskin.
Dilematika hidup yang begitu ruwet, memaksa kita untuk memutar
otak semaksimal mungkin dalam rangka menemukan cara untuk bertahan hidup (survive to live). Persoalan kemiskinan
yang terus menjadi pertanyaan besar yang belum mampu terjawab, banyaknya
suguhan solusi kemiskinan yang terus-terusan mental dan tidak berhasil, dan
ditengah ambiguitas masyarakat dalam menghadapi semua itu maka tidak heran jika
pilihan terakhir yang dianggap cukup realistis adalah dengan mengeliminasi diri
dari panggung kehidupan ini dengan jalan bunuh diri.
Menyikapi Trend Bunuh
Diri
Secara teoritis, seturut Durkheim tindakan bunuh diri (sucide) terklasifikasi menjadi tiga
macam yang didasarkan pada penyebab terjadinya tindakan bunuh diri. Tiga macam
bunuh diri tersebut adalah Pertama,
egoistik sucide, bunuh diri yang dikarenakan oleh keputusasaan manusia
(masyarakat) dalam menghadapi persoalan hidup yang cukup akut dan kompleks. Kedua, atroistik sucide, adalah tindakan
bunuh diri yang disebabkan oleh adanya doktrin ajaran yang mengikat dirinya.
Dan ketiga, anomik sucide, merupakan
tindakan bunuh diri yang dikarenakan oleh kegagalan adaptasi seorang individu
dengan sistem yang ia hadapi atau dengan kata lain, individu tersebut
belum mendapatkan kepastian norma.
Ketiga jenis bunuh diri ini tentunya dapat dipakai untuk melihat fenomena bunuh
diri yang terjadi di masyarakt kita.
Untuk bisa sedikit menjauhkan kita dari pilihan bunuh diri, saya
rasa kita perlu menyadari satu hal bahwa kehidupan yang kita jalani ini
sebenarnya tidak pernah memberikan kepastian. Namun kita selalu dihadapkan pada
pilihan-pilihan hidup yang begitu beragam. Persoalan kemiskinan-atau persoalan
hidup lainnya-yang sedang kita hadapi merupakan satu dari sekian pilihan hidup
yang ada. Mengatasi persoalan tersebut bukan dengan menghindar apalagi samapai
terjebak pada pilihan melakukan bunuh diri.
Yang tidak disadari pula oleh pelaku-pelaku bunuh diri adalah
“dampak” dari tindakan yang mereka ambil. Dampak bagi keluarganya secara khusus
dan dampak bagi masyarakat secara umum. Atau pun dampak yang akan ditanggungnya
sendiri kelak ketika akan berhadapan dengan sang Ilahi. Karena tentunya
tindakan bunuh diri merupakan tindakan yang sangat tidak diridhoi oleh agama.
Yakinlah bahwa bunuh diri bukanlah solusi jitu dalam mengatasi persoalan hidup.
Melainkan tindakan tersebut akan menimbulkan dampak yang besar bagi kehidupan
sekaligus menjadi persoalan baru yang juga membutuhkan solusi baru (solusi
dalam solusi). Atau dengan singkat kata, bunuh diri adalah tindakan yang
dinggap sebagai solusi hidup, namun tidak solutive.
No comments:
Post a Comment